
Oleh Ahmad Alief
Presiden Joko Widodo mengintruksikan kabinetnya agar serius mencegah gerakan radikalisme, diantara upayanya adalah mengganti istilah ‘radikalisme’ dengan ‘manipulator agama’
Jokowi menyampaikan hal itu saat membuka rapat terbatas dengan topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Presiden, Kamis (31/10/2019).
“Harus ada upaya yang serius untuk mencegah meluasnya, dengan apa yang sekarang ini banyak disebut yaitu mengenai radikalisme,” kata Jokowi.
Kemudian Jokowi melempar wacana untuk merubah istilah gerakan radikalisme dengan ‘manipulator agama’ dan menyerahkan usulan itu kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Pemerintahan Jokowi berulang kali menyatakan ingin mencegah dan menanggulangi perkara radikalisme. Menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Maju pun diminta serius dalam menyelesaikan permasalahan yang mengancam negara yang mengatas namakan agama.
Sehingga muncul celotehan bukan ‘Kabinet Indonesia Maju’ tapi ‘Kabinet Indonesia Melawan Radikalisme’. Karena diawal rapat dengan menteri yang baru terpilih fokus Jokowi adalah melawan radikalisme disemua lini dan kementerian.
Seperti yang dilakukan Badan Kepegawaian Negara (BKN) bakal membuat soal mengenai radikalisme dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2019.
Hal Itu dilakukan BKN demi mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN) yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan banyak kalangan.
Langkah serupa dilakukan Menteri Agama Fachrul Razi. Sang Jendral menegaskan akan melarang keberadaan dan penyebaran paham khilafah di Indonesia. Menurutnya, paham khilafah lebih banyak merugikan untuk keutuhan bangsa Indonesia.
“Saya sudah mulai lakukan secara tegas kita katakan khilafah tidak boleh ada di Indonesia. Memang kalau ngomong khilafah ini kan kalau dilihat dari aspek-aspek Alquran atau hadis-hadis dan lain sebagainya, kontroversial. Kalau kita berdebat enggak akan selesai-selesai,” kata Fachrul di hadapan para imam masjid peserta lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Sesuai arahan Jokowi, kata Fachrul, semua menteri satu suara, dan Kemenag akan berperan mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh para penegak hukum.
“Di mana-mana, di muka bumi ini, yang sekarang sudah negaranya nation state, negara berdaulat, pasti tidak akan ada menerima khilafah. Dianggap saja dia jadi musuh semua negara,” tegasnya.
Fachrul berpesan agar para Imam menjaga masjid dari kelompok-kelompok yang menyebarkan ajaran kekerasan berbasis agama. Masjid harus jadi pusat persatuan umat, bukan ajang menyebar kekerasan.
Selain itu, Fachrul juga berencana melarang pengguna niqab atau cadar untuk masuk ke instansi milik pemerintah.
“Kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu,” tegas Fachrul.
Kemudian langkah serupa juga akan dilakuakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Begitu juga Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Sebenarnya radikalisme biang dari terorisme, dan radikalisme sendiri muncul dari idologi atau paham keagamaan yang menganggap selainnya atau kelompok lain sebagai kafir. Dengan kata lain, kelompok seperti ini biasa disebut sebagai penganut paham takfiri.
Radikalisme sendiri bukan barang baru di Tanah Air. Menurut survei Badan Intelijen Nasional (BIN), tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) dan 39 persen mahasiswa di 15 provinsi terpapar oleh paham radikal.
Penelitian yang dilakukan Setara Institute, 10 PTN juga terpapar radikalisme. Yaitu UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta, UIN Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR.
Sedangkan menurut mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang terpapar radikalisme tiga persen anggota TNI, 19,4 persen PNS, 9,1 persen pegawai BUMN, 18,1 persen pegawai swasta, dan 23,4 persen pelajar.
Yang dimaksud terpapar, kata Ryamizard seperti menyetujui jihad dan menggantikan Pancasila dengan khilafah. (mas)