Bahagia Dengan Batasan di Suluk Maleman

Bahagia Dengan Batasan di Ngaji NgAllah Suluk Maleman
budayawan sekaligus penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin,Sabtu (18/12/2021). Foto istimewa

Pati, 5NEWS.CO.ID,- Suluk Maleman kembali digelar secara streaming pada Sabtu (18/12/2021) malam. Pada edisi ke 120, tema tentang ‘Ambang Batas’ diangkat menjadi tema diskusi. Ngaji budaya malam itu membahas tentang bagaimana batasan mampu memberi kebahagiaan.

Prof. Dr. Saratri Wilonoyudho mengatakan, hidup tanpa batas yang menjadi idaman orang justru tidak mampu memberikan kenikmatan. Dia mencontohkan, jika telinga manusia mampu mendengar suara tanpa batasan justru akan membuat manusia pusing dengan segala suara yang dia dengar.

“Bayangkan saja jika gigi tumbuh panjang tak beraturan. Tentu itu membuat kita kesulitan untuk makan, sehingga tak akan ada kenikmatan,” kata Prof. Saratri saat berbicara dalam Suluk Maleman, Sabtu (18/12) malam.

Prof. Saratri menyebut sikap berlebih-lebihan tanpa batas saat ini sedang marak. Tak terkecuali keserakahan dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam. Padahal, tutur dia, manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah.

“Bagaimana hanya untuk jam tangan mewah seharga Rp 12 miliar, manusia rela membabat berhektar-hektar hutan. Ini merupakan contoh tak adanya batasan dalam diri manusia,” ujarnya.

Menurutnya, kecintaan berlebihan pada harta dan dunia hingga membuat manusia terlena, telah menjadi bentuk kesyirikan tersendiri. Padahal sejak awal, Allah lewat wahyu yang diturunkan-Nya sudah mendidik agar manusia bisa selalu berada di posisi wasath (tengah-tengah/seimbang), adil dan tidak melampaui batas.

Anis Sholeh Ba’asyin, budayawan sekaligus penggagas Suluk Maleman, menambahkan bahwa dalam agama pun persoalan batasan diajarkan. Seperti anjuran untuk makan saat lapar namun berhenti sebelum kenyang.

“Ini merupakan bentuk batasan agar manusia itu tidak berlebih-lebihan. Kita dididik untuk tidak melampaui batas dalam segala hal,” ungkapnya.

Sementara itu Drs. Ilyas menambahkan, fenomena berlebihan timbul lantaran orang tak mampu mengaplikasikan puasa dengan benar. Bagi sebagian orang, puasa justru dianggap sebagai penghalang. Menurutnya, puasa bukan sekadar soal tidak makan dan minum tapi juga bermakna dalam kehidupan sosial. Dengan puasa, manusia dididik untuk bisa menahan diri sesuai batasan-batasan.

“Mereka inginnya setiap hari itu hari raya. Padahal kalau benar itu terjadi, kenikmatan hari raya justru juga akan hilang. Manusia selalu berpikir bahwa semakin dikejar akan menemukan kenikmatan, tapi ternyata tidak bisa,” kata Ilyas..

“Dengan menahan diri, manusia justru mampu menyelamatkan diri dari  marabahaya,” pungkasnya.(hsn)