Muhammad Muhyidin
Tak dipungkiri, Amin Rais adalah seorang tokoh intelektual. Seenggak-enggaknya begitulah rekam jejaknya. Penting, misalnya, menyebut dua di antara jejak-jejak intelektualitas Amin Rais, “Tauhid Sosial”, dan “Cakrawala Islam—Antara Cita dan Fakta”.
Saya sendiri mendapati dua istilah yang sampai saat ini masih membekas kuat di benak ini dari tulisan Amin Rais. Dua istilah itu adalah “high politic” dan “low politic”.
Yang disebut “high politic” ialah politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis. Ini politik kualitas tinggi. Low politic berarti kebalikan dari high politic: Politik kualitas rendah atau politik yang terlalu praktis dan seringkali cenderung nista.
Demikian itu pikiran Amin Rais dalam salah satu bukunya. Baginya, politik mestilah yang “high”, dan bersumber tauhid.
Pemikiran Amin Rais yang seperti itu, atau kalau Amin Rais didudukkan di atas buku-bukunya, dia tak diragukan lagi menjadi seorang intelektual di antara kaum intelektual negeri ini. Apalagi, dia pernah pula sebagai Ketua PP Muhammadiyah—sematan “cendekiawan muslim” amat laik untuknya.
Tetapi, waktu telah berlalu. Aliran waktu tak surut ke belakang. Amin Rais empat tahun terakhir ini seperti Amin Rais yang lain. Amin Rais yang popular saat ini, adalah Amin Rais yang “menghidangkan jamuan horror dan naif”, seperti bertolak belakang dengan ke-intelektual-an/ke-cendikiawan-annya.
Hidangan horror?
Dia menyebut negeri ini dikuasai aseng dan asing. Dia menyebut tentang bangkitnya PKI. Dia menganggap partainya sendiri—termasuk PKS dan Gerindra—sebagai “Partai Allah” sekaligus menghakimi partai selainnya sebagai “Partai Setan.”
Dan, terakhir, dia menyebut pemilihan presiden di April 2019 nanti laksana Armageddon. “Armageddonn itu apa sih?” Terdengar pertanyaan dari arah dapur.
“Itu akhir jaman, Yu?” kataku pada Yu Ton. “Kiamat-lah!”
Maksudnya Amin Rais?
Maksudnya, pilpres April 2019 nanti adalah pertarungan atara yang hak dan yang batil. Kayak Pandawa dan Kurawa. Malaikat vs Iblis.
O, begitu?
Iya.
Terus, pihak pandawanya siapa? Malaikatnya?
Ya, kubunya Amin Rais-lah. Masak kubu Jokowi. Masak tega menyebut Jokowi sebagai pihak yang hak dan sendirinya pihak yang batil! Tega amat.
So, jika Armageddon berarti akhir jaman, akhir dunia alias kiamat, lalu yang bikin kiamat siapa?
Ssst…..!
Jangan tanya keras-keras. Itu pertanyaan sulit, perlu tingkat intelektualitas yang sangat tinggi loh. Nalarnya sih, sebagai mahluk agamis, yang membuat kiamat atau akhir dari dunia ya Tuhan Allah SWT. Ini bagi makhluk-makhluk ber-Tuhan seperti kita. Kiamat adalah takdir. Dan takdir adalah kuasa Allah.
Jadi Amin Rais hedak melawan Armageddon dong?
Sstt….sudah dibilangin jangan keras-keras kok. Semakin diseriusi dengan pikiran yang serius, akal-mu nggak akan sampai memahami pernyataan Amin Rais yang nyata-nyata blunder ini.
Mengibaratkan pilpres laiknya Armageddon saja sudah keliru. Lebih keliru lagi menyebut dan menganggap pihaknya sendiri sebagai wakil kebenaran (haq), dari partai Allah, melawan dan menghadapi Jokowi yang otomatis ditempatkan laiknya iblis, penguasa zalim, dan patut dihancurkan sebab mewakili “hizbus syaithon”.
Begitulah Amin Rais, kini. Drama air mata dan sandiwara terisak-isak Hanum Rais dalam kisah “Ratna Sarumpaet digebuki babak belur”, yang justru akan tergiang-ngiang di benak publik tentangnya.
Drama horror yang dihidangkannya, tak ayal, melengkapi narasi mengerikan kubu Prabowo yang hanya melihat negeri ini dari kaca mata kesusahan dan kepedihan semata. Harga-harga mahal, Hutang mengerikan, negeri dikuasai aseng-asing, korupsi stadium empat, menuju kehancuran NKRI di tahun 2030.
Wkwkwkwkwkwkwk…..