Penulis: Muhammad Muhyidin
Jauh sebelum BIN menyampaikan hasil survai yang dilakukan oleh P3M NU bahwa sebanyak 41 dari 100 masjid yang ada di lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN, terpapar radikalisme, saya termasuk salah seorang yang sudah berbusa-busa meriakkan bahaya radikalisme dan intoleransi. Bahwa biang kerok dari radikalisme dan intoleransi ini adalah kelompok Islam yang bernama Wahabi!
Lembaga-lembaga pendidikan banyak yang sudah terpapar wahabi. Utamanya kampus-kampus umum atau negeri, para PNS, bahkan aparat keamanan sampai tukang tambal ban di pinggir jalan.
Jadi tak mengejutkan! Saya tak terkejut. Tetapi justru senang. Senang sekali! Wahabi telah berkembang begitu dahsyat di negeri, terutama sejak tahun 80-an dimana mereka masih berada pada level belajar dan mendalami ajaran-ajaran wahabi, langsung dari tanah wahabi Arab Saudi.
Pertama, saya ingin mengucapkan selamat. Demokrasi memungkinkan kaum wahabi datang. Hak asasi meniscayakan ustadz-ustadz wahabi bebas dan lantang menjajakan ajaran-ajarannya di negeri ini. Teknologi informasi dan media-media mempercepat penyebarannya. Didukung dengan semangat menyala dan berkobar-kobar menegakkan ajaran Islam yang murni di atas tanah ini, bertemu dengan nafsu ummat yang pengin secara instan, praktis, dan pragmatis memeluk dan membela agama, jadilah wahabi sebagai ideologi “terbarukan” di tengah-tegah ideologi ahlussunnah wal jamaah yang selama ini tampak “biasa-biasa saja” dan “begitu-begitu aja”.
Kedua, ucapan selamat juga saya tujukan pada orang-orang yang berkecupan rejekinya dikarenakan telah menjadi wahabi. Jujur—sumpah dengan sejujur-jujurnya—saya teramat kagum pada tokoh-tokoh wahabi, terutama yang saya lihat, ketika tak ada riwayat dari keluarga yang kaya-raya, tapi dalam waktu singkat bisa membangun dan mendirikan pesantren-pesantren yang megah dan bertingkat. Hebat nian! Menjadi wahabi ternyata membuat mereka mejadi kaya.
Siapa yang tak mau kaya?
Miris dibandingkan teman saya yang bercita-cita bangun pondok sejak kuliah, sampai sakit-sakitan cita-cita itu masih mimpi belaka padahal ia penegak ahlussunah wal jamaah.
Ketiga, ucapan selamat juga pada berbagai pihak yang terlibat—dari para ustadz wahabi, kader-kader, aktifis-aktifis, para pemandu sorak di media sosial, dan lain-lain yang tak bisa disebut satu per satu pada kesempatan yang amat mulia ini—yang selama ini telah bekerja secara sistematis, massif, dan matang sehingga ajaran-ajaran wahabi bisa diterima dan dipeluk oleh PNS, birokrat, dokter, dosen, mahasiswa, guru, hingga tukang tambal ban di pinggir jalan.
Keempat, saya harus selalu ingatkan pada antum sekalian, akhi dan ukhti rahimakumullah, bahwa musuh Islam dan kaum kafir tak akan pernah senang dengan wahabi; mereka akan selalu berusaha menjatuhkan wahabi; meneror wahabi semata-mata karena kebencian terhadap wahabi yang sesungguhnya mereka benci pada penerapan Islam dan syariat yang murni.
Jangan berkecil hati, wahai saudaraku! Ingat selalu sabda Rasulullah saw: “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing”
Kelima, kepada para pihak yang sekarang ini (baru) merasa bahwa kehadiran wahabi akan membahayakan, terutama bagi, kebebasan dan kemerdekaan dalam bermazhab, ajaran-ajaran wahabi akan memicu radikalisme, intoleransi, minimal akan merusak hubungan kekeluargaan dan ketetanggaan gara-gara mereka menganggap tahlilan, yasinan, atau ziarah kubur itu bid’ah dan padahal bid’ah itu neraka, maka rasakan sajalah.
Ente kemane aje selama ini, tong?