Puasa: Landasan Keberagaman


Penulis: Anis Sholeh Ba’asyin

Dulu, kompilasi Khaled Abou El Fadl -salah satu ikon cendekiawan muslim ‘liberal’ yang tinggal di AS- membahas tudingan minor pasca 9/11 dengan membeberkan argumen-argumen tentang apa yang membantah dan mendorong direalisasikan dalam sejarah Islam; banyak tanggapan muncul. Sebagian besar dari tanggapan atas pertanyaan yang diajukan tentang keberagaman, perbincangan atau lainnya.


Bagi mereka, soal yang disetujui adalah rasa keadilan yang rumit dan kesetaraan yang tak terealisasi dalam interaksi antar bangsa. Dalam diskusi begini, jangan terlalu relevan untuk membicarakan tentang masyarakat intrinsik punya nilai-nilai pendukung keberagaman atau tidak, karena ‘penindasan’ akan selalu menghasilkan pasangan alamiahnya sendiri: ‘perbaiki’. Radikalisasi tidak muncul dari ruang hampa, ia muncul dari konstruksi realitas dengan segenap konfigurasi kepentingan yang bertarung diimplementasikan.


Alhasil, ketertindasan akan selalu menjadi api yang efektif untuk radikalisasi, baik dengan maupun tanpa agama. Di ranah sekular, kita bisa menggunakan orang lain menggunakan jargon-jargon demokrasi untuk memobilisasi perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan oleh penguasa komunis; dan memanfaatkan jargon-jargon Marxis untuk melawan kesewenangan penguasa kapitalis. Meminjamresi Dom Helder Camara: akarnya adalah ketidakadilan. Ketidakadilanlah yang merupakan kekerasan pertama, yang akan menciptakan spiral pertahanan.


Yang kita tahu, perbedaan adalah fakta yang tidak bisa ditolak. Tanpa istilah kembar identikpun tak ada merta berarti tak punya perbedaan. Pemahaman genetik sedikit lebih lengkap. Selalu ada perbedaan yang tersisa.


Bila dalam tataran fisik saja perbedaan sudah menggejala demikian nyata, ditempatkan saat kita bicara dalam tataran psikologis, intelektual atau spiritual; Variasi tentu saja akan menjadi semakin rumit dan rumit.

Meskipun demikian, rumit dan menantang tak terbatasnya. Perkembangan setiap orang berbeda-beda dan unik, sehingga -sama seperti yang terjadi dalam Perbedaan fisik- pengulangan juga tidak mungkin terjadi. Kesamaan kebangsaan, kesukuan atau bahkan keluarga; tak sekaligus merta potensiitas perbedaan.


Kompleksitas perbedaan ini -karena sifatnya yang tak stabil dan terus berkembang- justru menjadi tenaga pendorong dinamika pergerakan sejarah manusia. Akumulasi perkembangan fisik, psikologis, inteletektual dan spiritual manusia dalam merespon realitas alam dan setting sosial-kulturalnya inilah, yang secara konstan akan terus mengubah wajah budaya dan peradaban. Dinamika ini berlaku baik di tingkat intra maupun antar budaya dan peradaban.


Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadi tonggak penting keberagaman. Tanpa perbedaan, keberagaman niscaya tak pernah ada. Sementara keberagaman itu sendiri intrinsik mengandaikan diterimanya watak partikular setiap satuan identitas budaya dan peradaban yang ada, sehingga masing-masing unit identitas harus menentang universalitasnya.

Penyikapan terhadap perbedaan yang nyata akan menjadi batu percobaan yang menantang bagi sejarah manusia: menentang sumber konflik atau ladang pengayaan khasanah peradaban itu sendiri?


Meskipun hampir semua orang menerima keberagaman identitas sebagai fakta, tetapi tidak pernah menjelaskan tentang peran besar tentang fakta ini membuat konstruksi pemikiran dan menciptakan kumpulan tindakan yang diperlukan dalam merangkai hubungan antara dua atau lebih identitas yang berbeda.


Ini karena kesadaran tentang keberagaman pastilah, bukan satu-satunya, Kesadaran yang memengaruhi konstruksi sosial. Ada banyak kesadaran lain yang tak kalah berhasil. Kesadaran tentang keadilan atau kesetaraan misalnya, jika mau menyebut beberapa yang positif; atau yang negatif, kesadaran tentang supremasi atau superioritas misalnya.


Ini menunjukkan betapa tidak akan stabilnya pemaknaan yang bisa diberikan pada fakta yang sudah dianggap final seperti keberagaman. Ketidakstabilan ini akan lebih rumit lagi, jika disadari tentang pemaknaan terhadap keadilan-kesetaraan atau supremasi-superioritas, pada dasarnya juga akan sama tidak stabilnya dan sangat tergantung pada ruang-waktu dan pengaturan sosial-budaya yang diperlukannya.


Pada titik ini, menarik untuk dikutip ayat yang sering dipakai orang terkait dengan keberagaman. “Hai manusia, sungguh Kami ciptakan kamu lelaki dan perempuan, dan kamu kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantaramu disisi Allah adalah yang paling bertaqwa ”(QS, 49:13).


Ketika berbicara tentang ayat ini, biasanya orang mengatakan bahwa keberagaman adalah sunatullah dan untuk mengeliminasi efek negatifnya orang lain untuk memahami ta’aruf , saling mengenal kebiasaan (adat) dan membicarakan satu sama lain. Ta’aruf adalah jembatan yang harus dibangun untuk meredam potensi konflik antar identitas.


Satu hal penting yang sering terlewati adalah orang yang berbicara tentang ayat ini, adalah penjelasan di akhir ayat, yang menjadi kunci ta’aruf . Penekanan kalimat ‘yang paling mulia diantaramu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa’, disetujui oleh karena ta’aruf tidak mungkin terbangun tanpa landasan perjanjian. Tidak mungkin membangun pemahaman saat mulai muncul klaim-klaim superioritas satu pihak.


Karena itu, paling tidak sesuai dengan ayat ini, pilihlah atas kemuliaan yang tidak diberikan kepada manusia, tetapi diterima pada Allah. Manusia tak berhak membuat standar kemuliaannya sendiri, karena pasti akan subyektif dan bias. Kemuliaan juga tidak memenuhi standar nilai tertentu, tetapi melalui proses perolehannya; yaitu ketaqwaan.


Untuk mendapatkan perspektif yang lebih tepat, dalam konteks ini, taqwa -yang semantik yang berarti rasa takut pada Allah dalam tindakan- lebih baik dimaknai sebagai sikap ‘bisa memajukan batas agar’, yang di termas termuat juga pengertian kehati-hatian dalam perubahan . Dengan demikian, berbicara tentang diri sendiri adalah kunci hubungan dalam keberagaman realitas. Menjaga diri untuk selalu berada di koridor yang tersedia, menjaga diri untuk tidak perlu lebih baik, menjaga diri sendiri untuk tidak perlu lebih benar dan seterusnya.


 Dengan demikian, ta’aruf tidak akan terlaksana jika ada pihak yang memaksakan universalitas nilai-nilainya sendiri kompilasi berhadapan dengan nilai-nilai lain. Tanpa taqwa, ta’aruf tak akan terlaksana. Yang ada tinggal monolog dan hegemoni nilai satu nilai atas nilai yang lain. Dan ini akan terus memicu konflik.


Yang menarik, kita diperintah puasa adalah untuk memperoleh kondisi taqwa. Atau, jika ini kita hubungkan dengan paparan di atas, kesimpulannya bisa berbunyi: hanya mereka yang berpuasalah yang mampu terus memperoleh takwa, dan hanya yang berhasil memperoleh kondisi taqwa sajalah yang mampu mengembangkan peradaban yang benar-benar sesuai dan dapat mendukung keberagaman.


Keberagaman memang satu hal, menyikapi keberagaman adalah hal lain. Dan modernitas benar-benar piawai memanfaatkan jarak dua posisi ini. Di satu sisi mengkampanyekan keberagaman, di sisi lain tak kunjung henti mengkampanyekan dan malah malah memaksakanakan klaim universalitas peradabannya sendiri.


Silang sengkarut konflik dan kekerasan akhir-akhir ini hanya membahas satu hal: kita semua belum memiliki kematangan emosional, intelektual dan spiritual dalam pertempuran. Ini karena kita gagal bertaqwa, salah satunya karena kita juga gagal berpuasa.

Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah. Pendiri Rumah Adab Mulia Indonesia