‘Udang Trump’ Di Balik Kesepakatan Abad Ini Israel-Palestina

Foto: New York Times

Penulis: Spencer Bokat-Lindell

Alih Bahasa: Umar Husain

Presiden Trump mengungkap rencananya untuk mengakhiri salah satu konflik tertua dan paling sulit diselesaikan di dunia pada Selasa (28/1/2020) melalui apa yang disebutnya dengan “kesepakatan abad ini.” Proposal setebal 180 halaman, yang dirancang tanpa melibatkan dan persetujuan Palestina, akan memberi Israel keuntungan besar. Proposal itu hanya memberi kedaulatan terbatas pada Palestina.

Rencana itu disambut antusias oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan menuai kecaman dari Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina.

Berikut poin-poin utama dari rencana kontroversial Trump :

  • Penetapan Ulang Perbatasan Israel

Holocaust membuat warga Yahudi menduduki Palestina dan mendeklarasikan penjajahannya meskipun harus menghadapi perang Arab-Israel pada tahun 1948. Menang perang menjadikan Israel menguasai 78 persen tanah Palestina yang sebelumnya dikuasai Inggris. Pascaperang Enam Hari di tahun 1967, Israel kembali merampas 22 persen sisa tanah Palestina, termasuk Semenanjung Sinai dari Mesir dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Saat ini, ada sembilan juta warga negara Israel, sekitar 1,9 juta di antaranya adalah orang Arab. Di wilayah pendudukan Tepi Barat, ada sekitar 3 juta orang Palestina tinggal disana dan wajib tunduk pada hukum militer Israel.

Sekitar 2 juta orang Arab tinggal di wilayah Gaza yang diblokade oleh Israel. Warga Gaza dilindungi dan diatur oleh pemerintahan Hamas, sebuah organisasi yang oleh Amerika Serikat dan sekutunya dianggap sebagai organisasi teroris.

Rencananya, Trump akan mengalokasikan sekitar 70 persen dari kawasan Tepi Barat dan 30 persen tanah yang diduduki Israel di dekat Gaza untuk Palestina.

  • Poin kritis: Tepi Barat Dihuni oleh Pemukim Ilegal Israel

Dalam proposal Trump disebutkan bahwa Israel akan membekukan pembangunan permukiman baru selama empat tahun, namun tetap mencaplok tanah milik warga Palestina sudah diduduki di kawasan pemukiman ilegal yang sudah ada, termasuk Lembah Sungai Yordan. Akibatnya, wilayah Palestina akan tersebar seperti pulau-pulau kecil di tengah samudra wilayah pendudukan Israel.

“Rencana Trump mendukung ujaran Netanyahu bahwa Israel selalu benar,” tulis Diana Buttu , seorang pengacara dan mantan penasihat Organisasi Pembebasan Palestina.

“Menghargai Israel karena membangun permukiman mengirimkan pesan yang jelas kepada kediktatoran lain di seluruh dunia bahwa mereka juga dapat melakukan apa yang mereka inginkan dan bahwa mereka juga akan diberi imbalan,” katanya.

“Setiap negara di seluruh dunia akan mendengar bahwa mereka juga dapat diserang, tanah mereka dicuri, dan rakyat mereka dirampas haknya.” ujar Diana.

Pengakuan ekspansi teritorial Israel sejak 1967 hanya mencerminkan perubahan dalam realitas politik ketika Palestina menolak kesepakatan damai sebelumnya, tulis dewan editorial The Wall Street Journal. “Tidak seorang pun di Israel yang benar-benar serius mengharapkan blok pemukiman akan dihancurkan,” kata mereka.

  • Tidak Ada Jalan Lagi bagi Pengungsi Palestina untuk Kembali

Perang 1948 mengakibatkan pelarian atau pengusiran sekitar 700.000 warga Palestina dari rumah mereka, menciptakan krisis pengungsi yang masih belum terselesaikan. Saat ini, sekitar 5 juta pengungsi Palestina dan keturunan mereka, tersebar di kamp-kamp pengungsian di sekitar kawasan.

Warga Palestina itu memiliki hak untuk kembali ke tanah leluhur mereka, sesuai dengan Resolusi PBB nomor 194 (State 194).

‘Kesepakatan Abad Ini’ milik Trump secara eksplisit menolak gagasan ini. Israel tidak dapat menerima kembalinya para pengungsi Palestina dengan alasan mempertahankan ‘Mayoritas Yahudi di Negara Yahudi’, seperti yang dijelaskan Alex Ward di Vox.

Mantan Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni mengatakan, gagasan ‘hak untuk kembali’ pengungsi Palestina bertentangan dengan solusi dua negara dan perdamaian. “Karena negara Israel, menurut definisi, adalah jawaban atas aspirasi nasional orang-orang Yahudi, kala Israel menampung para pengungsi Yahudi yang datang dari seluruh dunia,” tulisnya pada tahun 2018.

Yousef Munayyer , Direktur Eksekutif Kampanye AS untuk Hak-hak Palestina dan warga negara Palestina di Israel menyatakan, “Klaim historis Palestina atas tanah Israel lah yang membuat solusi dua negara tidak dapat dipertahankan,”.

  • Yerusalem Menjadi Ibukota berdaulat bagi Israel dan Tak Terbagi

Di bawah rencana Trump, Israel akan mendapatkan kedaulatan resmi atas Yerusalem yang tidak terbagi sebagai ibukotanya. Sementara ibukota Palestina berlokasi di luar tembok yang mengelilingi Yerusalem.

Di bawah rencana pemisahan PBB tahun 1947, Yerusalem tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi ibu kota negara mana pun, tulis Ms. Buttu pada tahun 2017 , tetapi “lebih merupakan kota bersama di bawah kontrol internasional dengan kedaulatan yang tidak berada di tangan Israel maupun Palestina.”

Pada tahun 1980, Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap deklarasi Israel atas Yerusalem sebagai ibukotanya merupakan pelanggaran hukum internasional.

Rencana Trump untuk ‘menghadiahkan’ Yerusalem kepada Israel ‘akan menjadi kesalahan besar’. Hal itu akan memantik konflik antara ‘dua pasukan keamanan’ di sebuah tempat yang paling sensitif di muka bumi.

Yahudi Israel, seperti penulis Shmuel Rosner, mengklaim bahwa, “Yerusalem adalah ibu kota kita dan akan selalu seperti itu.”

  • Demiliterisasi Negara Palestina dan Perlucutan Senjata Kelompok Perlawanan

Rencana Trump mengesampingkan tujuan ke arah negara Palestina seutuhnya. Dia mengumbar janji bahwa orang-orang Palestina dapat ‘mencapai negara merdeka mereka sendiri’, tanpa sedikitpun merincinya. Netanyahu mengatakan, kesepakatan itu menyediakan ‘jalan menuju negara Palestina’, tanpa menyebut apapun terkait ‘jalan menuju negara’ yang ia maksud.

Mengomentari hal ini, seorang reporter Israel Amir Tibon mengatakan, “Jalan-jalan di kota maupun di desa, serta jalan yang menghubungkan mereka, akan berada di bawah kendali penuh militer Israel. Ia (Palestina) tidak akan memiliki kontrol atas perbatasannya, yang juga akan dikendalikan oleh Israel,”.

Dalam hal ini, Trump, seperti pendahulunya dari Partai Demokrat dan Republik, hanya memberikan perlindungan kepada Israel untuk mengabadikan apa yang dikenal sebagai status quo, kata Nathan Thrall.

Kesepakatan Trump, kata Nathan, akan menjadikan Israel sebagai satu-satunya kedaulatan yang mengendalikan wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania, merampas HAM jutaan warga Palestina yang dibiarkan tanpa status kewarganegaraan.

Selain membatasi gerakan setiap warga Palestina, Israel juga akan memiliki hak untuk mengkriminalisasi setiap ucapan yang dianggap membahayakan ketertiban umum, memenjarakan warga Palestina dengan masa yang tidak terbatas, penahanan tanpa pengadilan maupun tuntutan, dan yang paling penting, Israel akan lebih leluasa untuk merampas tanah milik warga Palestina.

Namun demikian, Dewan Editorial The Jerusalem Post menilai kesepakatan Trump tersebut memberikan keseimbangan yang tepat antara aspirasi Palestina dan keamanan Israel.

“Hamas harus dilucuti, kucuran dana kepada teroris harus dihentikan, korupsi harus berakhir, dan hak asasi manusia harus dihormati,” tulis mereka.

Catatan:

Spencer Bokat-Lindell adalah seorang penulis opini di The New York Times.