
Penulis: Umar Husain
Keterlibatan pelaku ekonomi dalam dinamika politik Indonesia memberi dampak positif dan negatif. Posiitifnya, ruang gerak para pengusaha terbukti kian bebas dan membuahkan sejumlah lompatan yang mendongkrak performa ekonomi. Namun demikian, efek negatif juga timbul akibat orientasi untung-rugi yang mendasari kebijakan negara.
Hubungan saling menguntungkan terjadi saat politikus membutuhkan dana dan pengusaha menyediakannya. Kegiatan politik akhirnya didanai oleh para pemilik modal. Tujuan politik tergapai sementara hajat pengusaha adalah memperluas cakupan bisnis. Terbentuklah pola yang dikenal dengan politik transaksional. Hubungan saling membutuhkan, istilah tepatnya mungkin begitu?
Negara korporasi adalah negara yang dijalankan oleh persekutuan politikus dan pengusaha. Kolaborasi ini menjadikan negara sebagai alat untuk mengangkut kepentingan kedua belah pihak. Cara berpikir pebisnis berbasis untung-rugi akan mempengaruhi penguasa dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bercorak ‘profit oriented’ (fokus pada keuntungan semata). Tekanan pemilik modal yang terlibat dalam kegiatan politik membuat politikus ‘tak berdaya’ dan mengamini setiap tuntutannya.
Omnibus Law, Rancangan Undang-undang (RUU) ‘sapu jagat’ ini akan merevisi 79 UU yang sudah ada dan mengubah ketentuan sekitar 1.200 pasalnya. Setelah disahkan, draft setebal 1.028 lembar itu akan mempengaruhi banyak sektor, terutama di bidang ekonomi.
Label Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka (sekarang disebut Cika) yang disematkan pada RUU ini seharusnya lebih memberi keuntungan bagi kelompok pekerja. Jauh panggang dari api, desain Draft Omnibus Law malah jadi kontroversial dan dinilai lebih menawarkan ruang bebas bagi pemodal dan kelompok pengusaha. Kapitalisme demokrasi sedang dibangun melalui legalisasi undang-undang?
Sembilan poin yang sedang digodok oleh DPR, meliputi penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan dan kemudahan proyek pemerintah serta kawasan ekonomi.
Kalangan pekerja memandang banyak hak buruh yang hilang dalam rancangan aturan baru ini, seperti mudahnya PHK, terhapusnya cuti haid dan melahirkan, turunnya jumlah pesangon dan diperluasnya sistem kontral bagi pekerja. Tampak jelas bahwa pemerintah punya hajat untuk memperluas lapangan kerja lewat Omnibus Law.
Sudah tentu yang lebih diperhatikan adalah pemilik modal. Dengan aturan baru, mereka dapat terhindar dari resiko yang selama ini jadi momok pengusaha. Jika ditetapkan, Omnibus Law akan mengurangi banyak sekali biaya produksi. Investor juga ‘aman’ dari jerat pidana karena ancaman bagi perusahaan nakal cuma sanksi administratif. Dampaknya jelas merugikan kaum buruh yang notabene adalah rakyat jelata.
Mungkin jargon demokrasi dari,oleh dan untuk rakyat perlahan mulai bergeser menjadi dari, oleh dan untuk pemodal. Jangan sampai Omnibus Law nantinya menempatkan rakyat kecil sebagai obyek regulasi demi keuntungan segelintir pengusaha.