
Oleh: Irna Fitroyah, S.Ag.
Kita tentu mengetahui betapa buruknya akibat dari berpikir buruk terhadap orang lain. Dan kita sudah memahami pula betapa akibat dari cara berpikir seperti ini akan berdampak buruk bukan saja kepada orang yang menjadi sasaran cara berpikir kita itu, bahkan kepada diri kita sendiri.
Sebuah kisah nyata dari Cina sebagaimana yang termuat dalam Xia Wen Pao pada tahun 2007, barangkali patut kita renungkan.
Kisah tersebut adalah kisah yang terjadi di musim dingin. Siu Lan, seorang janda miskin memiliki putri kecil berumur 7 tahun, Lie Mei. Kemiskinan itu memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup mereka berdua. Hidup yang penuh kekurangan ini membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja kepada ibunya, sebagaimana layaknya anak-anak kecil lain.
Suatu ketika di musim dingin, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Mei menunggu di rumah karena dia akan membeli keranjang kue yang baru.
Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di rumah. Marahlah Siu Lan. Putrinya benar-benar tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Siu Lan. Dia pikir Lie Mei sudah berani membantah sehingga tidak menunggu rumah seperti pesannya.
Dalam keadaan masih marah Siu Lan menyusun kue kedalam keranjang, dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue. Bagaimana lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan.
Dan sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumah dikunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya geram. Lie Mei sudah berani kurang ajar.
Apa yang terjadi kemudian?
Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Rupanya Lie Mei sudah cukup lama berada di luar pintu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah akibat pintu sudah dikunci oleh ibunya. Dan Lie Mei tidak kuat menahan dinginnya salju. Melihat keadaan anaknya Siu Lan berlari kencang. Siu Lan memeluk Lie Mei yang ternyata sudah membeku dan sudah tidak bernyawa lagi. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera, Siu Lan membopong Lie Mei masuk ke dalam rumah.
Siu Lan menggoncang-goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu, dia membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas usang itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca.
“Hi..hi..hi….mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hi…hi…hi..mama selamat ulang tahun.”
Kontan Siu Lan menjerit semakin keras. Tangisnya miris penuh penyesalan. Namun nasi sudah jadi bubur. Lie Mei tetap tidak bangun lagi. Pikiran yang buruk terhadap anaknya telah menyeretnya ke dalam penderitaan yang teramat sangat. Bukan hanya hanya anaknya yang menerima akibat buruk dari cara berpikirnya itu, melainkan dia sendiri yang pada akhirnya menerima akibat yang tentu saja akan membuat hidupnya makin tersiksa.
Seperti itulah memang akibat dari buruk sangka. Tidak ada yang lain akhir dari sebuah buruk sangka selain daripada penyesalan, dan bahkan penderitaan yang teramat sangat. Sangat jauh dan mustahil buruk sangka menjadi sebab datangnya kebahagiaan pada diri seseorang.
Tidak mungkin kita akan mendapatkan kebahagiaan yang kita impikan sepanjang pikiran kita dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain.
Barangkali dalam keseharian kita pernah juga atau bahkan tanpa disadari pikiran-pikiran buruk tentang orang lain ini telah hinggap dalam diri kita. Berbagai prasangka buruk terlintas di pikiran kita, yang parahnya seringkali persangkaan kita itu tidak berdasar dan tidak beralasan. Lebih parah lagi tatkala sangkaan-sangkaan kita ini telah kita jadikan sebagai sebuah informasi baru dan kemudian dengan cara yang meyakinkan kita sampaikan informasi hasil dari sangkaan kita itu kepada orang lain. Bukankah ini sudah menjadi fitnah? Tentu kita sudah mengetahui kaitannya dengan fitnah ini.
Sekali-kali cobalah kita pikirkan apa yang terjadi ketika seseorang yang telah menjadi sasaran dari pikiran buruk kita itu merasakan atau mengetahui apa yang telah kita lakukan. Tentu saja dia akan menjadi sakit hati. Dan tidak menutup kemungkinan jika di kemudian hari dia akan menjauh dari kita, karena dia merasa sudah tidak merasa nyaman lagi jika bersama kita.
Atau mungkin kita pernah tatkala di sebuah kereta api dalam perjalanan kita ke suatu tempat misalnya. Dan secara kebetulan kita duduk berhadapan dengan seseorang yang berlawanan jenis dengan kita dan belum Kita kenal. Kemudian untuk menutupi kebosanan perjalanan, kita berniat untuk menyapa dan berkenalan. Dalam niatan kita benar-benar hanya sekedar untuk berkenalan hingga kita bisa ‘ngobrol’ dengan orang itu. Namun kemudian respon yang kita terima adalah respon negatif yang sama sekali tidak kita duga. Dan kemudian kita mengetahui bahwa ternyata orang itu telah menyangka buruk terhadap diri kita.
Lalu, apakah yang kita rasakan? Bukankah hati kita menjadi terasa sakit dan kecewa? Kemudian ingin sekali kita cepat-cepat berlalu dari hadapan orang itu? Dan secara tidak sadar muncullah juga kebencian kita terhadap orang itu.
Begitulah memang gambaran dari akibat prasangka buruk. Dari prasangka buruk, akan mungkin kita kehilangan segalanya. Bahkan sampai pada kehilangan seseorang yang memiliki niatan baik untuk kita. Sebagai akibat yang lebih jauh tatkala kita mulai menyadarinya adalah tidak sedikitpun kebahagiaan akan kita rasakan, melainkan hanya kesedihan saja yang akan kita rasakan.
Dalam ajaran Islam parasangka buruk adalah salah satu perkara yang terlarang. Sebagaimana telah demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa ta’ala memang memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang harus diakui bahwa prasangka yang dibangun di atas suatu bukti yang kuat tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan bukti yang kuat maka timbullah sangkaannya, apakah itu sebuah sangkaan yang baik ataupun yang tidak baik.
Ini adalah naluri yang ada pada diri manusia. Maka tidaklah mengapa jika demikian adanya. Yang merupakan larangan adalah berprasangka semata-mata tanpa ada bukti yang kuat. Karena hal itu adalah sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:
“Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian.Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini. ”Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Sangkaan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat al- Qur’an, adalah sebuah tuduhan. Dan persangkaan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuduhan tanpa ada bukti yang jelas. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya.
Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berprasangka yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menegaskan dalam bukunya “Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim”, bahwa prasangka yang dilarang adalah prangsaka yang murni atau tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti.
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berprasangka buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Sikap yang demikian akan lebih membuat kita berhati-hati dan akan semakin mempererat persaudaraan sesama muslim. Karena bagaimanapun harus dipahami bahwa buruk sangka adalah sifat curiga atau menyangka orang lain akan berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas, maka jika hal itu ternyata tidak dilakukan atau bahkan tidak terbersit untuk melakukannya tentu akan sangat menyakitkan jika orang itu mengetahui sangkaan kita tersebut.
Jadi sesungguhnya prasangka buruk terhadap sesama muslim adalah penyakit yang berbahaya di antara penyakit-penyakit hati yang dapat juga menghalangi tercapainya sebuah kebahagiaan hidup yang kita impikan. Hanya efek buruklah yang akan terjadi dari sebuah prasangka buruk. Sebagian manusia tentu sudah merasakan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini.
Barangkali dalam kehidupan kita sendiri, sadar atau tidak, pernah juga hinggap prasangka yang demikian dalam hati kita. Tatkala orang yang ada di dekat kita mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu, kemudian muncul dalam benak kita rasa was-was atau adanya sesuatu yang dirasa buruk dari orang itu, pada akhirnya kita menyimpulkan sendiri dengan kesimpulan negatif atas ucapan atau tindakan orang itu, maka di sinilah sebuah prasangka buruk telah hadir dalam hati kita.
Padahal selayaknya kita melakukan receck dan memperjelas sesuatu, sehingga terang baginya apa yang memotivasi ucapan atau perbuatan tersebut. Bahkan merupakan kewajiban bagi kita untuk berbaik sangka terlebih dahulu terhadap orang lain, sehingga akan lebih baiklah hal ini untuk diri kita sendiri. Kita tentu mengakui bahwa seseorang yang selalu dihinggapi kecurigaan negative, selalu berpikir buruk, tentu tidak akan merasa tenang hidupnya. Maka jika ketenangan saja tidak kita rasakan, bagaimana mungkin kita juga akan merasakan kebahagiaan dalam hidup kita?
Yang terjadi pada kenyataannya memang sebagian orang jika mendengar sekedar kabar dari orang lain maka dia langsung berprasangka buruk terhadap kabar tersebut, padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. 49:6)
Berkata as-Sa’di di dalam tafsirnya, “Ini juga merupakan adab dari sekian adab yang selayaknya diterapkan dan digunakan oleh orang-orang yang berakal.Yaitu jika ada seorang fasiq mengabarkan tentang suatu berita, maka hendaknya mengecek kebenaran beritanya tersebut dan tidak menerimanya dengan serta merta.Karena yang demikian itu berbahaya sekali dan dapat menjerumuskan ke dalam dosa. Sebab kabar tersebut jika langsung dinilai sebagai kabar yang benar dan adil maka akan ikut juga berbagai hal yang menjadi tuntutan dan konsekuensinya. Maka terkadang menyebabkan kerugian jiwa dan harta dengan cara yang tidak haq sebagai akibat dari berita itu, dan akhirnya menjadikan penyesalan. Maka wajib untuk mengecek dan tabayyun ketika mendengar kabar dari seorang yang fasiq”.
Dan Rasulullah SAW telah bersabda:
“Jauhilah oleh kalian zhann, karena zhann adalah sedusta-dusta ucapan.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Haruslah kita ingat bahwa apa yang mampu kita lihat pada sesuatu di luar kita hanyalah sesuatu yang bisa kita rasakan kehadirannya dengan indra fisik kita. Sama sekali kita tidak bisa melihat apa yang tersembunyi dalam hati dan pikiran seseorang. Maka berprasangka baik adalah lebih baik untuk diri kita. Dan sebaliknya, berprasangka buruk akan lebih membawa kita kepada kerugian.
Jadi, jika kita benar-benar menginginkan kebahagiaan dalam kehidupan kita, maka menjauhi buruk sangka adalah salah satu jalan yang harus kita tempuh. Sebab buruk sangka bisa menjadi penghalang untuk tercapainya kebahagiaan hidup yang kita inginkan.
Saya yakin kita sepakat dengan hal ini, karena bagaimanapun kita tentu pernah merasakan dimana tatkala hati dikuasai oleh sangkaan buruk terhadap orang lain, maka rasa was-was akan menguasai hingga sampailah pada satu titik dimana kita hanya merasa kegelisahan dalam hidup kita. Kemudian tatkala kita merasa dikuasai kegelisahan, apakah ketika itu juga kita merasa ada kebahagiaan pada diri kita? Tentu saja tidak. Tidak mungkin orang merasa bahagia dalam kegelisahan.
Hanya dengan menghilangkan kegelisahanlah kitaakan bisa merasakan kebahagiaan. Ketenanganlah yang akan membawa kita kepada kebahagiaan. Karena ketenangan dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dan salah satu cara agar kita terhindar dari kegelisahan adalah dengan menghindarkan diri dari prasangka buruk terhadap orang lain.
Gantikan prasangka buruk itu dengan prasangka baik, maka kita akan merasakan kehidupan yang sebaliknya. Bukan lagi kegelisahan yang ada pada diri kita namun ketenanganlah yang akan menguasai kita. Karena prasangka baik adalah salah satu cara agar kita selalu berpikir positif dalam menjalani kehidupan ini. Dan hanya dengan hal ini pula kitaakan lebih memahami seperti apa rasanya sebuah kebahagiaan sejati.
* Penulis adalah penyuluh Agama Islam di KUA Kecamatan Wonosobo