New Normal, Normalisasi Kondisi Abnormal

New Normal, Normalisasi Kondisi Abnormal

Penulis: Umar Husain

Pandemi virus corona menyebar hampir di seluruh dunia. Wabah ini memaksa setiap bangsa berupaya keras menahan laju penyebaran dan mengatasinya, termasuk Indonesia. Disadari atau tidak, penanganan COVID-19 menggeser kondisi normal setiap bangsa ke situasi abnormal.

Protokol kesehatan, mengharuskan setiap orang dimasa pandemi menggunakan masker, cuci tangan dengan sabun, hand sanitizer, social distancing dan lain sebagainya. Beberapa bulan lalu, semua perilaku itu mungkin diangap abnormal sebelum pandemi corona. Seiring dengan meluasnya wabah, semua protokol kesehatan itu dianggap normal.

Berdasarkan kamus umum, normal didefinisikan dengan sesuai standar, sementara abnormal diartikan dengan di luar standar. Abnormal sendiri masih dibagi lagi menjadi di atas dan di bawah standar.

Pandemi COVID-19, dengan segala protokolnya, menjadikan kondisi normal masyarakat dunia menjadi abnormal. Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) misalnya, terbukti sukses membuyarkan kerumunan massa di berbagai macam kegiatan dan layanan publik yang sebelumnya dinilai normal.

Hari ini, seandainya ada pesta perkawinan dengan tamu undangan sekitar 100 orang saja, bisa dipastikan bakal jadi ‘sasaran’ sumpah serapah dan caci maki, setidaknya di media sosial. Padahal sebelum pandemi, ‘kaum berada’ biasa menggelar pesta dengan ribuan tamu undangan yang hadir.

Untuk itu, perlu ada proses normalisasi kondisi tidak normal ini. Era normal baru atau biasa disebut New Normal adalah sebuah tahapan pelonggaran protokol penanganan pandemi agar masyarakat dapat beraktifitas kembali. Tentu saja, normalisasi ini diterapkan secara hati-hati dengan mengikuti aturan protokol baru.

Di bidang ekonomi, minggu lalu Menteri Kesehatan telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha. Dalam surat edarannya, Menkes mengatur tata cara pelaku ekonomi, baik barang maupun jasa, berdasarkan situasi New Normal.

Melalui Kemenkes, pemerintah mencegah kerumunan dengan membatasi jumlah pengunjung toko hingga menganjurkan sistem take away (bawa pulang). Selain itu, pemerintah juga menerapkan sitem antrean dengan jarak fisik minimal satu meter.

Hari ini, Presiden RI juga telah memaparkan sejumlah langkah yang mendukung pelaksanaan protokol era normal baru. Banyak pihak juga ikut angkat bicara memperbincangkan proses normalisasi kondisi abnormal akibat COVID-19.

Masalahnya, masyarakat ekonomi lemah, yang selama ini terdampak langsung kondisi abnormal, belum jelas nasibnya. Mereka bukan pelaku ekonomi yang terlibat dalam pengadaan bantuan pangan, alat pendukung kesehatan atau kegiatan lain yang berkaitan dengan COVID-19.

Kalangan masyarakat bawah sudah banyak menderita akibat protokol kesehatan virus corona. Berapa banyak sopir angkutan yang tak bekerja, buruh yang di PHK serta pedagang di sekitar sekolah dan kantor yang kehilangan pemasukan. Harapan mereka sederhana, virus corona segera lewat.

Semoga era normal baru menjadi angin segar bagi kaum proletar bangsa ini untuk bernapas lega.