Menolak Lupa, 31 Tahun Tragedi Kemanusiaan Talangsari Lampung

Sejumlah aktivis dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan aksi peringatan Peristiwa Talangsari di Taman Patung Diponegoro, Jakarta, Minggu (7/1). ANTARA FOTO/Teresia May/foc/16.

5NEWS.CO.ID, – 7 Februari 1989, tepat 31 tahun yang lalu, sebuah dusun yang terletak di Kabupaten Lampung Timur, hidup sejumlah kelompok kecil jamaah yang mengidamkan kehidupan yang lebih islami namun harus menjadi korban dari penerapan azas tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru.

Melalui UU No. 3 Tahun 1985 tentang Parpol dan Golongan Karya yang mengharuskan semua partai politik menerapkan Pancasila sebagai azas tunggal dan azas lain tidak diperbolehkan sejak 19 Februari 1985. Tak hanya partai politik, seluruh organisasi kemasyarakatan di Indonesia juga harus menerapkan azas yang sama.

Hal tersebut patut diduga sebagai langkah politik pemerintahan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan dengan segala cara termasuk dengan mewajibkan semua golongan menerapkan azas Pancasila. Tidak hanya gerakan politik oleh golongan kiri, namun basis agama pun tidak mampu menjadi kekuatan politik lagi seperti pada saat zaman Soekarno.
Umbul Cihideung atau yang lebih dikenal dengan nama Dusun Talangsari adalah tempat dimana kekuasaan Soeharto yang kental dengan kekuatan militeristiknya membombardir Jamaah Warsidi yang dituduh subversif.

7 Februari 1989 menjadi sejarah kelam bagi jamaah dan orang-orang Dusun Talangsari yang saat itu dibantai oleh TNI dibawah komando Danrem 043 Garuda Hitam Tanjung Karang yang dipimpin oleh Kolonel Hendropriyono.

Berdasarkan catatan KONTRAS data korban tragedi Talangsari yakni sejumlah 218 orang hilang, 550 orang dibunuh di luar proses hukum dan 35 orang yang ditangkap sewenang-wenang. Tentu bukan jumlah yang sedikit, melihat hasil investigasi yang dilakukan bahwa bukti-bukti dan saksi hidup menunjukkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan TNI kala itu.

Kini tiga puluh satu tahun pasca peristiwa Talangsari masih menyisakan luka yang membekas pada keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari sampai hari ini.

Negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM justru dinilai abai dan terkesan mengingkari prinsip-prinsip penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sudah tau luka masih disiram dengan air garam, Kementerian Politik Hukum dan HAM secara diam-diam malah melakukan “Deklarasi Damai” secara sepihak melalui Tim Terpadu Kemenkopolhukam dengan mengadakan pertemuan bersama pemerintah daerah (Wakil Bupati), Ketua DPRD Lampung Timur, Forkopimda Lampung Timur, tokoh masyarakat, dan warga. Namun, tanpa melibatkan korban maupun keluarga korban.

Deklarasi yang bertanggal 20 Februari 2019 melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Timur No: 170/32/XII/SK/DPRD-LTM/2000 tentang peristiwa Talangsari Way Jepara Kabupaten Lampung Timur tersebut telah melanggar hak atas keadilan hukum bagi para korban karena deklarasi tersebut telah cacat hukum dan moral karena mengatasnamakan korban namun tanpa melibatkan korban samasekali.

Bahwa Salah satu poin perjanjian yang ditandatangani dalam deklarasi tersebut adalah para pelaku, korban dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tersebut tidak diungkap kembali siapa pun.

Tidak hanya merampas hak korban atas keadilan, perjanjian tersebut juga menutup akses bagi pihak-pihak lain yang ingin membantu korban untuk mencari keadilan dalam peristiwa Talangsari, dan mendelegitimasi DPR yang dimandatkan untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc dan Komnas HAM sebagai lembaga negara yang independen yang menyelidiki kasus tersebut dan tengah menanti langkah penyidikan oleh Jaksa Agung.

Langkah tersebut patut diduga sebagai solusi pragmatis yang dilakukan pemerintah karena gagal dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial dan non yudusial. Deklarasi tersebut dikhawatirkan akan dijadikan legitimasi oleh pemerintah untuk menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM talangsari telah diselesaikan.

Berharap akan menguntungkan, namun malah sebaliknya, dengan adanya deklarasi tersebut, justru akan semakin menjatuhkan marwah dan martabat hukum dan HAM oleh pemerintah itu sendiri dan menyakiti nurani korban yang selama ini tanpa putus asa berupaya untuk mencari keadilan.

Ombudsman RI menambahkan, dalam menyikapi deklarasi damai sepihak yang telah dilakukan tersebut telah dinyatakan Maladministrasi, karena pada deklarasi tersebut ditemukan adanya ketidakcermatan dan ketidakpastian dasar hukum pada dasar pertimbangan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Timur.

Bahwa pertimbangan pada surat tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelesaian kasus pelanggaran HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kemudian, Ombudsman juga menyampaikan bahwa Komnas HAM dan LPSK telah melakukan diskriminasi dalam memberikan bantuan media dan psikososial hanya kepada 11 korban pelanggaran HAM berat Talangsari dari 15 orang menurut laporan Komnas HAM, padahal jumlah korban pelanggaran HAM yang berat di dusun Talangsari lebih dari 15 orang.

Pemerintah mau pun pemerintah daerah telah lalai memberikan pemenuhan pelayanan publik secara maksimal di wilayah terjadinya pelanggaran HAM berat. Ombudsman mendorong agar pemerintah melakukan perbaikan dan perlindungan kepada korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Mengingat Kabupaten Lampung Timur telah mempredikatkan diri sebagai kabupaten Ramah HAM melalui peraturan bupati No. 48 Tahun 2016 tentang Kabupaten Lampung Timur Ramah HAM.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Bupati Lampung Timur pada tahun 2016 tersebut harusnya menjadi acuan bagi Pemda untuk memperhatikan Dusun Talangsari apalagi mengingat sudah tiga tahun diberlakukannya Perbup tersebut namun masih sedikit dampak yang dirasakan.

Tentu langkah pemerintah daerah dalam hal ini harus diapresiasi dan didukung penuh, karena hal tersebut juga dinilai sebagai langkah konkret terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama pada keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari.

Diharapkan tujuan dikeluarkannya Perbup ini bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak namun lebih kepada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak para keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari sehingga dapat menjalani kehidupannya secara normal dan terbebas dari stigma negatif yang selama ini menjadi bayang-bayang. (aks/mra)