Penulis: Muhammad Muhyidin
Apakah, misalnya, jika media sosial tak ada, maka tak banyak orang yang berbicara agama? Atau justru media sosial menjadi bukti bahwa selama ini sesungguhnya agama telah dibicarakan banyak orang?
Ini persoalan memikat. Di negeri ini, tak ada yang lebih sering dibicarakan melebihi pembicaraan tentang agama. Malah, tak haya para ahli saja yang membicarakannya, melainkan—dan ini menariknya—hampir semua orang. Semua orang saat ini berbicara tentang agama. Tentu saja, yang dimaksud dengan ‘semua orang’ bukanlah dalam pengertian deret matematika, melainkan dari pengertian “siapa sesungguhnya yang berhak” berbicara tentang agama.
Tetapi siapa sih yang berhak itu? Dan apakah hak itu—yakni bicara tentang agama—berlaku bagi semua orang?
Hak untuk berbicara, secara umum, memang merupakan hak semua orang. Bahkan hal ini masuk dalam golongan sebagai hak asasi manusia. Dalam konteks negara, semua orang memiliki hak (yang sama) untuk berbicara, mengeluarkan pendapat, berserikat, atau berkumpul. Melarang orang berbicara sama artinya membungkam kebebasan asasi,dan melawannn kodrat kemanusiaan itu sendiri.
Masalahnya kemudian, hak berbicara yang bebas dimiliki semua orang ini dalam konteks apa? Berbicara agama, dengan demikian, apakah termasuk sebagai hak asasi setiap orang sehingga setiap orang berhak (dan bebasss) untuk berbicara tentang agama?
Dari sisi undang-undang, tak ada larangan bagi siapa pun untuk berbicara tentang agama. Tak ada produk hukum (positif) di negeri ini yang melarang orang untuk berbicara tentang agama. Andaikan ada undang-undang atau produk hukum sekalipun, ini akan menjadi persoalan yang rumit menyangkut definisi, batasan, dan cakupannya yang akan memunculka perdebatan panjang dan memboroskan energy.
Hal lain yang menarik untuk diungkap, mengapa banyak orang dengan mudah berbicara tentang agama?
Agustus 2008, tak kurang dari 100 ahli fisika dari 24 negara bertemu di Universitas Indonesia. Para ahli itu mendiskusikan teknik-teknik terbaru untuk memecahkan problem beberapa benda serta perkembangan terakhir penelitian di bidang fisika. Pertemuan para ahli dan diskusi di dalamnya tentu tak menarik minat banyak orang, kecuali mereka yang mendalami fisika dan berkecimpung di dunianya.
Bagaimana seandainya semua orang berbicara tentang fisika? Atau, matematika? Kimia? Sosiologi? Kedokteran? Atau bahkan Pertanian?
Agama dibicarakan semua orang, mungkin, karena anggapan bahwa agama adalah hal yang mudah. Orang tak perlu disiplin ilmu tertentu untuk membicarakannya. Terlebih, perasaan bahwa kepemilikan agama adalah kepemilikan pribadi dan hubungan dengan Tuhan adalah hubungan personal yang siapa pun tak berhak untuk mencampuri hubungan ini.
Jika logikanya seperti itu, menjadi tidak penting bersusah-payah mempelajari agama, menjadi tidak berguna pula berbagai disiplin ilmu yang disaratkan harus dikuasai ketika membahas suatu pokok persoalan tentang agama.
Tak ada gunanya fukaha—para ahli fiqh—yang telah menghabiskan sepanjang umurnya untuk mendalami hukum-hukum agama. Tak ada manfaatnya mujtahid—para ahli ijtihad—untuk merumuskan konsep-konsep berkaitan dengan pokok-pokok hukum agama. Begitupun, tak ada gunanya ahli tafsir, ahli hadis, ahli qiraat, bahkan ahli nahwu dan shorof demi bisa mendeteksi ayat-ayat suci dari sudut bahasanya.
Dan inilah yang sedang terjadi. Merasa bahwa berbicara tentang agama adalah hak setiap orang, maka dengan bebas orang membicarakannya. Orang tak peduli apakah ia memiliki cukup ilmu dan pengetahuan tentang al-Qur’an, misalnya, asal bisa mengutip ayat al-Qur’an dan tahu terjemahannya dari Depag atau cari di google, lalu ia pukulkan ayat itu demi menghakimi orang lain karena kebetulan ayat tersebut sesuai dengan kemauannya. Padahal, diperlukan waktu bertahun-tahun bagi para ahli tafsir al-Qur’an untuk memahami ayat-ayat suci ini dan mereka—para mufasir—tetap sadar bahwa penafsirannya bersifat relative dan tak merasa penafsirannya yang paling benar.
Yang terjadi, semua orang dengan gagah mengutip-ngutip ayat, memukulkan ayat-ayat itu untuk orang atau kelompok lain, menghukum orang atau kelompok lain sebagai sesat, kafir, ahli neraka, dan seterusnya.