ISIS, Wahabi dan Hukum Propaganda (5-akhir)

Penulis: Profesor Abdel Azim al-Bashir

Alih Bahasa:  Kantor Berita Al-Ahed Lebanon

Editor: Umar Husain

Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Hitler memaksa rakyat Jerman membuka jendela rumah mereka sambil mengeraskan volume radio secara maksimal agar ide-ide yang disiarkan melalui radio dapat didengar setiap orang. Tak peduli orang Jerman menyukainya atau tidak. Saat itu mereka berpikir bahwa hal ini hanya gangguan biasa.

Baca Juga:

Seorang Penulis Jerman bernama Sergei Chakhotin tertarik untuk meneliti dan mempelajari fenomena ini dan menjadikannya eksperimen yang menarik. Penulis itu menganggap Goebbels telah berhasil merumuskan kembali sebuah negara berpenduduk padat ke dalam visi Partai Nazi. Chakhotin menilai propaganda radio Goebbels mampu membuat warga Jerman secara sukarela berperang demi Hitler.

Perang itu berakhir dengan kekalahan tragis. Hitler bunuh diri. Diikuti oleh orang-orang yang bertanggung jawab atas ‘kegilaan’ nya. Goebbels dan istrinya bunuh diri setelah membunuh keenam anaknya dengan racun sianida.

Pada tahun 1939, Sergei Chakhotin menerbitkan sebuah buku berjudul ‘The Rape of The Masses’ atau ‘Perkosaan Massa’. Konotasi judul buku itu menggambarkan merosotnya ‘kesucian akal’ akibat noda disinformasi yang sengaja disebar melalui media.

Alat Goebbels untuk menyebarkan propaganda saat itu hanyalah surat kabar dan radio. Namun, ia berhasil meyakinkan 80 juta penduduk bahwa Jerman dan ras Arya lebih unggul dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia.

Dia mampu meyakinkan bahwa Eropa Timur adalah wilayah strategis Reich Ketiga. Propaganda Goebbels juga mampu membuat penduduk Jerman menganggap Hitler sebagai pemimpin inspiratif. Menteri propaganda Nazi itu bahkan mampu membangun citra Hitler sebagai sosok pemimpin yang tidak pernah melakukan kesalahan dan tak terkalahkan.

Setelah itu, Barat dan Amerika menggunakan cara yang sama. Mereka mewarisi metode Jerman setelah mengalahkan negara itu dalam Perang Dunia II. Di antara yang mereka warisi adalah ilmu membentuk pikiran secara masal dan hukum-hukum dasarnya. Ilmu ini disebut ilmu propaganda.

Ahli filsafat, pakar sosiologi, psikolog, dan para pemikir dilibatkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan sebagai sarana untuk menebar godaan dan rayuan.

Propaganda berubah menjadi ‘kekuatan politik’ pada abad kedua puluh. Mesin propaganda digunakan oleh kekuatan kolonial untuk memaksakan hegemoni mereka kepada dunia. Mesin itu bekerja untuk melemahkan kemampuan rakyat untuk bangkit dan melawan. Kondisi ini disebut ‘penjajahan budaya’.

Bungkus Kerakusan dan Ambisi Ekonomi

Sosiolog Amerika bernama Victor Baldrige menulis sebuah studi kritis tentang kekuasaan, konflik dan perubahan pada tahun 1975. Dia menyimpulkan bahwa kekuatan kolonial mencoba untuk memaksakan nilai-nilai mereka sendiri pada masyarakat.

Victor juga menemukan bahwa Amerika menutupi ambisi ekonomi mereka dengan istilah-istilah demokrasi, dukungan terhadap revolusi, kebebasan atau perang melawan terorisme, komunisme dan yang lainnya. Bungkus kerakusan yang salah dan menyesatkan.

Wahabi Salafi juga sama. Meski virus takfiri berhasil dimusnahkan, gerakan Wahabi telah meninggalkan kepahitan panjang akibat konflik sosial. Di Arab kami menyebutnya sebagai ‘fitnah besar’. Sewaktu-waktu, momok sektarianisme akan digunakan kembali untuk menyerang sebuah bangsa dari dalam.

Media modern merupakan efektif. ISIS menyebut ‘senjata media lebih kuat daripada bom atom’. Tanah Arab tiba-tiba dibanjiri dengan media berisi fitnah, hoaks dan pemalsuan masalah.

Propaganda membuat negara Arab lemah dan terbelah. Anehnya, pada saat yang sama Arab menjadi gandrung pada budaya dan produk-produk Barat. Bukan sebagian, tapi seluruhnya, mulai industri, budaya dan seni, hingga jet dan makanan cepat saji Amerika yang bodoh.

Pemimpin Opini Publik

Psikolog sosial Barat dan seluruh disiplin ilmu yang melayani imperialisme menemukan bahwa metode periklanan terbaik adalah membentuk pikiran orang. Ini yang mereka sebut dengan ‘para pemimpin opini publik’ atau leaders of public opinion.

Para ‘pemimpin opini publik’ adalah mereka yang menikmati status sosial, agama, keilmuan, atau kesukuan di komunitas mereka. Status itu memungkinkan mereka untuk mempengaruhi tren dalam opini publik. Mereka ini yang akan melakukan praktik disinformasi media, memperkosa pikiran publik, dan cuci otak secara massal.

Hukum Propaganda Para Penindas

Dikutip dari buku Chakhotin, ‘The Rape of The Masses’, ada lima hukum propaganda yang wajib dilakukan oleh para penindas, yaitu:

Hukum Pertama: Fokus pada istilah sederhana: prinsip atau slogan yang disiarkan dan diulang-ulang oleh sarana atau alat propaganda.

Tugas para pemimpin opini publik adalah menyerukan istilah tertentu tanpa mengungkapkan manfaatnya hingga melekat pada pikiran sadar atau bawah sadar.

Contoh: slogan ‘2019 ganti presiden’, ‘Bashar Assad kejam’, ‘sebutan kafir’ dan banyak lagi.

Hukum Kedua: Fokus pada anti-prinsip atau anti-slogan: Memperkuat cacat orang lain dan memfokuskan semua diskusi hanya pada cacat itu, untuk menjaga hukum pertama aman dari diskusi publik.

Mesin propaganda akan bekerja dan fokus pada apa yang seharusnya diyakini publik.

Contoh: ‘Jokowi antek aseng’, ‘kekejaman Bashar Assad terhadap kaum muslimin’ dan lain sebagainya.

Hukum Ketiga: Mengepung pikiran massa menggunakan kombinasi hukum pertama dan kedua secara bersamaan.

Contoh: ‘rakyat ingin 2019 ganti presiden karena Jokowi antek aseng’, ‘rezim Bashar Assad membantai rakyatnya yang menginginkan kebebasan’ dan lain-lain.

Hukum Keempat: Gagasan yang ingin ditanamkan dalam pikiran massa disuntikkan melalui kenyataan sejarah yang wajar dan beradab.

Menurut hukum keempat, upaya propaganda harus diarahkan ke arah pembongkaran komponen budaya dengan mempertanyakan keaslian kepercayaan. Dampak dari hukum keempat adalah menciptakan kebingungan intelektual yang memungkinkan massa mengutuk sejarah masa lalu. Sebuah teknik melucuti identitas lama sebuah bangsa sambil menawarkan identitas baru yang lebih sesuai dengan kepentingan para penindas.

Contoh: ‘wali songo tidak ada dalilnya’, ‘ziarah kubur haram’, ‘vonis bid’ah, ‘vonis kafir dan syirik sembarangan’ dan sebagainya. ISIS melakukan hal ini dengan sangat masif dan terbukti efektif.

Hukum Kelima: Mengarahkan propaganda secara masif agar massa tidak sedikit pun memperhatikan masalah yang sebenarnya.

Contoh: Dengan tujuan ‘ganti presiden’ pada pemilu 2019, semua informasi media dan para penceramah politik harus fokus pada hal ini agar publik tidak memperhatikan masalah sebenarnya yang menjadi tujuan para pemimpin opini publik. Di Suriah, isi pidato para tokoh oposisi bertemakan kekuasaan Bashar Assad akan jatuh atau tidak. Mereka tidak akan membahas pendudukan Israel, Al Quds, kemiskinan rakyat, pendidikan dan lainnya. Hanya Bashar Assad.

Jika masalah sebenarnya muncul, mesin propaganda termasuk para pemimpin opini akan segera menyatakan bahwa itu upaya pengalihan isu. Ini yang dimaksud ISIS sebagai ‘senjata media lebih kuat daripada bom atom’. Mungkin, itu sebabnya dampak buruk disinformasi media disebut ‘Perkosaan Pikiran’.

Sumber: Media Disinformation -Raping the Mind