Generasi Muda, Toleransi dan Radikalisme

Generasi Muda, Toleransi dan Radikalisme

Penulis: Irna Fitroyah, S.Ag.

Siapapun yang memiliki perhatian pada masalah sosial tentu akan merasa prihatin dengan melihat berkembangnya paham-paham radikal di tengah masyarakat. Keprihatinan ini muncul sebagai akibat dari munculnya fenomena baru bersamaan dengan berkembangnya paham radikal tersebut, yaitu sikap intoleransi dalam berkehidupan sosial. Tentu saja hal ini sangatlah jauh bukan saja dari ajaran-ajaran Islam yang seharusnya, melainkan juga jauh dari cara berkehidupan dalam negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, etnik, agama dan keyakinan seperti di negara Indonesia ini.

Berkenaan dengan istilah ‘radikal’, barangkali ada sebagian yang berpendapat bahwa pemahaman ‘radikal’ terhadap ajaran agama adalah sebuah keharusan, disebabkan pemahaman yang demikian ini mengandung arti akan menuntun seseorang kepada pemahaman agama yang murni sebagaimana pemahaman Rasulullah SAW yaitu pemahaman agama yang dikehendaki Allah Sang Pencipta.

Namun, apapun pemahaman tentang ‘radikal’ dengan segala perbedaannya, ada satu hal yang bisa kita tarik sebagai persamaan persepsi sehingga tidak akan mengaburkan paparan selanjutnya dari makalah ini. Yaitu bahwa penyebutan ‘radikal’ ini adalah untuk paham terhadap ajaran agama yang memunculkan reaksi yang alih-alih membawa kedamaian dan ketenteraman sebagaimana sifat agama Islam yang seharusnya sebagai rahmat bagi alam semesta, malah justru reaksi yang muncul adalah kebalikannya.

Pada kenyataannya memang orang yang memiliki paham radikal seringkali bersikap memaksakan apa yang menurut pikirannya benar kepada orang lain. Bahkan terkadang dengan cara yang sangat ekstrem yaitu dengan melakukan bom bunuh diri sebagai upaya unjuk gigi akan keyakinannya. Sama sekali mereka tidak peduli dengan nyawa-nyawa yang melayang sebagai akibat dari tindakannya itu.

Satu hal yang wajar jika seseorang yang berakal akan mengatakan jika keberadaan mereka hanya menimbulkan gaduh dan keresahan di tengah masyarakat. Tentu saja hal ini sangatlah tidak kita kehendaki. Dan sebagaimana diketahui bersama, bukanlah seperti itu apa yang diajarkan dalam Islam. Ajaran Islam adalah sebuah ajaran yang seharusnya membawa kepada kedamaian.

Bagaimanapun di negara kita ini, sikap toleransi adalah sebuah keharusan dalam kehidupan sosial. Dan kemunculan paham radikal adalah masalah yang sangat serius dalam kehidupan masyarakat yang beragam, dimana kelompok radikal ini telah sedemikian rupa menyebarkan paham mereka melalui doktrin-doktrin pemahaman agama menurut tafsir yang benar dalam pikiran mereka sendiri.

Dari sini kita pahami betapa mengantisipasi semakin merebaknya paham radikal ini harus kita lakukan. Karena sudah jelas apa efek yang akan muncul tatkala paham radikal telah sedemikian rupa menginternalisasi pada diri seseorang.

Pada situasi ini generasi muda adalah generasi yang rentan terhadap doktrin-doktrin pemahaman agama. Karena itulah maka kelompok-kelompok radikal cenderung memilih anak muda sebagai sasarannya. Terbukti, berbagai bom bunuh diri sebagai hasil doktrin tentang jihad, yang terjadi di negara kita tidak terlepas dari peran anak-anak muda ini.

Ditambah lagi adanya fenomena lain yang cukup rentan pula terhadap terpengaruhnya anak-anak muda pada paham radikal yaitu dengan adanya perkembangan teknologi dan internet seperti saat ini. Diakui atau tidak fenomena ini memang telah menjadikan generasi muda semakin rentan dirasuki paham radikal. Karena sudah menjadi rahasia umum, kelompok-kelompok radikal juga aktif masuk melalui jalur teknologi dan internet. Sementara kedekatan generasi muda dengan teknologi dan internet kebanyakannya melebihi kedekatannya dengan apapun. Sehingga cukup sulit kita menjamin ada generasi muda di sekitar kita yang belum dirasuki paham radikal.

Fenomena ini jelas semakin mengharuskan kita melakukan sebuah usaha deradikalisasi sebagai bentuk antisipasi terhadap merebaknya paham radikal. Deradikalisasi ini memiliki fungsi untuk memberikan penetralan terhadap mereka yang terasuki paham-paham radikal dengan melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner.

Sekaitannya dengan peran kita sebagai penyuluh agama, maka hal ini bisa kita lakukan dengan melalui majelis-majelis rohani yang didominasi oleh generasi muda. atau bias juga melalui organisasi-organisasi kepemudaan baik yang berbasis agama maupun umum.

Area ini adalah area yang strategis untuk sebuah proses pengajaran tentang pemahaman agama yang benar. Yaitu mengajarkan sebuah ajaran yang mengusung sikap toleransi tinggi serta menampilkan sifat rahmat agama dalam diri seseorang di dalam menjalani kehidupan sosialnya sebagaimana hal ini diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Jika kita kembali pada Al-Qur’an dan hadis, menurut Zuhari Misrawi akan kita temukan bagaimana para Nabi terdahulu telah menjadikan ajaran tentang kehanifan, toleransi dan penyerahan diri kepada Tuhan secara total (hanifan Musliman)[1] sebagai ajaran yang telah lama dipraktekkan. Nabi saw sendiri hanya sekedar melanjutkan dari apa yang sudah diamanatkan dan diperaktekan oleh Nabi Ibrahim a.s. bahkan Nabi Ibrahim a.s. dalam Al-Qur’an meminta kepada Tuhan agar Ismail dan keturunannya nanti menjadi Nabi-nabi yang mengamalkan ajaran tersebut, tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Tuhan.[2]lebih tegas ia katakan bahwa agama yang mempunyai mandat dari Tuhan adalah agama yang mempunyai dua unsur penting, yaitu kebenaran dan toleransi.[3] Inilah ajaran yang harus lebih kita populerkan di kalangan generasi muda kita.

Tentu sudah dipahami bersama jika sesungguhnya Islam mengajarkan agar ummat manusia membangun hubungan yang harmonis dengan sesama, toleran terhadap perbedaan dan saling menghargai satu sama lain. Perbedaan yang muncul dalam kehidupan tidak harus menjadi bencana akan tetapi justru menjadi rahmat. Pluralitas budaya, suku, ras, etnik, agama dan keyakinan harus dihormati dan tidak menjauhinya dengan cara memaksakan keseragaman, bagaimanapun perbedaan harus tetap harmoni agar perdamain dapat terwujud. Abd Moqsith Gazhali menegaskan bahwa menghadapi dunia yang makin plural, yang dibutuhkan bukan bagaimana menjauhkan diri dari adanya pluralitas, melainkan bagaimana cara atau mekanisme untuk menyikapi pluralitas itu.[4] Salah satu cara menyikapi pluralitas adalah dengan bersikap toleran terhadap perbedaan.

Dalam konteks sejarah kita disuguhi uswah yang baik dari Nabi saw ketika membangun sebuah peradaban di Madinah. Nabi saw mencontohkan dengan memulai meletakkan dasar-dasar kota yang berperadaban dengan mengajarkan kepada masyarakat Madinah tentang ketundukan dan kepatuhan kepada agama yang diletakkan pada supremasi hukum dan peraturan.[5] Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang majemuk, yang terdiri atas berbagai komponen etnik dan agama.[6] Nabi saw. dalam membentuk masyarakat Madinah menetapkan suatu dokumen perjanjian yang disebut Mitsaq al-Madinah (piagam Madinah/Konstitusi Madinah Barat). Dalam Piagam Madinah itu ditetapkan adanya pengakuan kepada semua penduduk Madinah tanpa memandang perbedaan agama dan suku sebagai anggota ummat yang tunggal (ummah wahidah) dengan hak-hak dan kewajiban yang sama.[7]

Dalam hal ini, negara Indonesia yang dipandang sebagai sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas sangat tinggi, perbedaan suku, ras, agama, budaya serta bahasa yang cukup besar, sangat potensial menjadi ladang pertikaian dan perpecahan. Indonesia rentan terhadap konflik sosial yang mengangancam integrasi bangsa jika tidak terbangun sebuah hubungan yang baik dan harmonis terhadap sesama anak bangsa. Apalagi jika merebaknya paham-paham radikal tidak secepatnya diantisipasi.

Fakta sosilogis historis yang sering muncul adalah bahwa adanya jargon Bhinneka Tunggal Ika menjadi pengikat pluralitas dan keberagaman bangsa ini lebih sering dinodai dengan munculnya berbagai praktik kekerasan akibat merebaknya paham radikal.

Menurut Zuhairi Misrawi, upaya membangun toleransi harus menjadi prioritas, terutama dalam konteks masyarakat yang plural dan multikultural. Pemahaman atas pentingnya toleransi mesti menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka membangun sebuah masa depan yang lebih baik. Hanya dengan cara itu, kehidupan ini akan lebih bermakna dan bermanfaat.[8]

Sesungguhnya paham radikal merupakan arus gerakan Islam trans-nasional. Gerakan trans-nasional ini hadir dengan wajah yang mengedepankan aspek monokultural. Dan sikap eksklusif dari gerakan Islam trans-nasional cenderung bertentangan dengan budaya-budaya produk lokal. Di sisi lain sikap eksklusif dari kelompok ini juga berakibat pada tertutupnya pintu dialog. Bahkan gerakan Islam trans-nasional cenderung menolak ideologi Pancasila dan menganggap sebagai ideologi kafir dan harus diganti dengan negara Islam. Dengan begitu arus globalisasi dan gerakan Islam trans-nasional haruslah segera disikapi dengan bijak demi mencegah dampak negative yang akan muncul dalam masyarakat.

Salah satu solusi yang perlu diaplikasikan sebagai bentuk peran aktif menyikapi persoalan tersebut adalah dengan menginternalisasikan ajaran Islam yang penuh nilai toleransi dan saling menghargai sesama makhluk Tuhan terhadap generasi muda bangsa.

Harus diingatkan kepada generasi muda kita bahwa telah sangat jelas Allah SWT dalam mempertegas perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah yang mesti diterima sebagai rahmat. Perbedaan sebagai realitas kehidupan yang mesti kita sikapi dengan bijaksana, karena dengan perbedaan itu manusia bisa saling kenal mengenal, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujurat/49:13 yang artinya:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha mengetahui, maha meneliti.”[9]

Ayat di atas secara tegas memberikan penjelasan akan keberadaan perbedaan dan kemajemukan dalam kehidupan bermasyarakat.


[1]Lihat, QS Ali ‘Imran, 3/67.

[2]Lihat, QS Al-Baqarah, 2/128 dan 133.

[3]Lihat, Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalissme, (Cet. I; Jakarta: Fitrah, 2007), h.177-178.

[4]Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis Al-qur’an,(Cet. I ; Depok: KataKita, 2009), h. 3.

[5]Nurcholis Madjid, Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani, Makalah pada seminar nasional, Masyarakat Madani Dalam Persfektif Agama dan Politik, Jakarta, 1999, dikutip dari, Ali Masykur Musa,  Membumikan  Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-isu Aktual, (Cet: I; Jakarta: Serambi, 2014), h. 20.

[6]Ali Masykur Musa,  Membumikan  Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-isu Aktual, h. 20.

[7]Ali Masykur Musa,  Membumikan  Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-isu Aktual, h. 20.

[8]Zuhairi Mizrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalissme, h. 179.

[9]Kementerian Agama, Al-qur’an dan Terjemahnya, h. 745