
Penulis: Sutrisno S.Pd.
Pekerjaan rumah bagi siswa sekolah kerap menjadi polemik. Pro dan kontra pun bermunculan menyikapi hal ini. Para ahli pun berbeda pendapat menggapai wacana dihapusnya PR bagi siswa sekolah.
Pada tahun 2018, Mendikbud Muhadjir Effendy memberi sinyal yang menyetujui penghapusan PR bagi siswa. Mendikbud mengatakan perlu kajian mendalam jika PR ditiadakan secara nasional. Meskipun demikian, Mendikbud kala itu mempersilahkan sekolah meniadakan PR, khususnya sekolah berbasis Full Day School.
Manfaat PR
Tugas rumah atau biasa disebut PR merupakan salah satu cara guru untuk meningkatkan serapan/pemahaman siswa tentang materi pelajaran. Selain itu, PR juga digunakan para Guru untuk melatih rasa tanggung jawab siswa terhadap tugas yang diberikan.
Marzano R.J dalam bukunya “Classroom Instruction that Works” menyebut sebelum memberikan PR, Guru harus menjelaskan tujuan pemberian PR kepada siswa sebagai berikut:
- Menjelaskan Tujuan PR kepada Siswa
Menurut Marzano, tujuan pemberian PR pada umumnya hanya ada dua. Pertama, untuk mengulang materi yang telah diberikan agar siswa dapat lebih memahami materi yang telah dipelajari. Tujuan yang kedua adalah untuk mempersiapkan bagi siswa menerima materi baru dan memudahkan siswa menangkap materi yang akan disampaikan oleh guru pada pertemuan selanjutnya. - Menyesuaikan Jumlah PR Sesuai Tingkat Pendidikan Siswa
Guru harus mempunyai gambaran dan perhitungan kira-kira akan membutuhkan waktu berapa lama bagi siswa untuk mengerjakan PR sebelum diberikan. Menurut Marzano, siswa Sekolah Dasar (SD) sebaiknya batasi waktu mengerjakan PR sekitar 60 menit saja. Sedangkan untuk siswa pada jenjang SMP atau SMA sebaiknya tidak lebih dari 90 menit di setiap harinya. - Mengurangi Keterlibatan Orangtua
Guru harus mampu mendesain PR sedemikian rupa sehingga mampu melatih kemandirian, juga dapat mencapai target akademis yang diharapkan. Kalaupun orang tua harus terlibat, sebaiknya untuk memberikan motivasi dan juga dukungan teknis saja. Bukan dalam mengerjakan PR tersebut. - Memberikan Feedback atau Umpan Balik
Umpan balik bermanfaat untuk membantu siswa mengetahui kesalahannya kemudian memperbaikinya, dan juga untuk membuat siswa mengetahui kelebihannya sehingga menjadikan siswa lebih percaya diri.
PR Tidak Perlu Diberikan di Sekolah?
Pada tahun 2018, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengimbau guru untuk mengkaji lagi fungsi pemberian PR kepada siswa. Mendikbud minta agar PR yang diberikan guru tidak menjadi beban bagi siswa. Guru juga harus mengembangkan cara belajar yang tuntas, serta memberikan PR sesuai dengan kebutuhan, dan tidak selalu dikaitkan dengan mata pelajaran. Menurutnya, jika guru merasa harus memberikan PR untuk siswa, maka PR tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
“Jadi PR jangan selalu dikaitkan dengan mata pelajaran. Sebaiknya (materi belajar) dituntaskan di sekolah. Tapi kalau terpaksa (memberikan PR), harus diracik menunya agar sesuai dengan anak,” kata Mendikbud di Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Mendikbud juga mewanti-wanti guru untuk memahami fungsi PR untuk siswa. Ia mengatakan, setidaknya ada tiga fungsi PR, yaitu pengayaan, penguatan, dan pengulangan. Meski demikian, Muhadjir menyatakan tidak akan memberlakukan kebijakan pelarangan PR. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya berdasarkan pertimbangan guru atau sekolah. (2)
Alasan PR Perlu Ditiadakan
Sejumlah tulisan dan pendapat para ahli juga menyatakan bahwa PR perlu dihapus dari sekolah. Berikut beberapa alasan yang mendukung pandangan tersebut:
- PR menambah tekanan bagi peserta didik.
Anak butuh waktu untuk rileks dan menenangkan pikiran. Setelah belajar 7 – 8 jam/hari terasa sangat tidak adil jika mereka harus mengerjakan PR tersebut selama 3 jam lagi dirumah. Tekanan seperti ini tidak baik untuk anak dan mereka butuh waktu untuk memperbarui pikiran dan tubuh mereka. - Mengurangi Waktu dengan Keluarga
PR mengurangi waktu mereka dengan keluarga. Waktu dengan keluarga sangat penting untuk anak – anak yang sedang bertumbuh secara mental maupun fisik dan tanpa hal ini masalah sosial bisa tumbuh di dalam anak dan dapat memecah keluarga karena kurangnya waktu bersama keluarga. - Memicu Konflik dengan Orang Tua
PR dapat menimbulkan konflik antara anak dan orang tua saat orang tua ingin anaknya mengerjakan PR tetapi sang anak tidak ingin melakukan tugas – tugas tidak ada habisnya. - Kebiasaan Menyontek
Terlalu banyak PR menimbulkan keinginan anak untuk menyontek atau menyalin pekerjaan orang lain agar pekerjaan mereka dapat terselesaikan. - PR Tidak Benar-benar Diperiksa
Seringkali guru tidak benar – benar memeriksa PR yang mereka berikan atau tidak dibahas karena mereka juga punya kesibukan lain dan pelajaran harus terus berlanjut. Hal ini membuat PR yang diberikan menjadi tidak berguna karena anak didik tidak tahu apakah jawaban mereka betul atau salah dan jika salah bagaimana cara untuk memperbaikinya?
Kompromi antara PR, Guru dan Siswa
Selama pandemi COVID-19, pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat dunia pendidikan mengalami perubahan. Kelas daring yang sarat dengan tugas dan PR sering dikeluhkan orang tua siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pernah mengutarakan bahwa selama ini masih banyak sekolah yang belum mengimplementasikan proses pembelajaran yang baik dan menyenangkan.
Pemberian tugas dan PR tentu tidak sepenuhnya berdampak negatif. Namun, perlu diperhatikan agar guru tidak mengejar kuantitas materi pembelajaran dan lebih berfokus pada kualitas serapan siswa terhadap materi pelajaran.
Dengan demikian, transisi proses pembelajaran dari sistem daring ke tatap muka usai pandemi COVID-19 juga harus diubah. Orientasi guru dalam memberikan pelajaran kini bukan lagi mengejar target bahan. Tetapi lebih fokus kepada kualitas pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.
Dengan orientasi tersebut, PR dapat tetap diberikan secara proporsional dengan tujuan agar serapan materi pelajaran siswa meningkat.
Catatan:
Artikel ditulis oleh Sutrisno, S.Pd., NIP: 197806052011011001, Kepala Sekolah di SDN Godongan, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
