Kita kreatif mengembangkan dan sekaligus mengabadikan kekeliruan dalam Ramadan seperti bertebarannya imbauan: hormatilah orang yang berpuasa.
Penulis: Anis Sholeh Ba’asyin
Diam-diam kita sangat kreatif mengembangkan dan sekaligus mengabadikan kekeliruan. Dalam momentum puasa Ramadan, misalnya, bertebarannya imbauan: hormatilah orang yang berpuasa; adalah satu contohnya.
Ketika orang yang berpuasa menghimbau agar dirinya dihormati, tentu ada kekeliruan penyikapan disana. Pertama, penghormatan bukan produk rekayasa. Orang akan otomatis dihormati ketika mampu merealisasikan nilai yang dimuliakan masyarakat.
Kedua, semangat dasar berpuasa justru melatih orang untuk mengeliminasi kebutuhan, sudah pasti termasuk kebutuhan untuk dihormati.
Disamping itu, puasa justru melatih orang untuk menghormati orang lain, termasuk mereka yang tidak berpuasa. Jadi, kalau terpaksa harus ada imbauan, mestinya malah berbunyi: hormatilah yang tidak berpuasa!
Kita tahu, orang yang tidak berpuasa tentu punya alasannya sendiri, termasuk yang dibenarkan secara agama. Buya Hamka misalnya, dulu pernah menulis tentang pengalaman beliau yang sempat kebingungan mencari warung makan di bulan puasa.
Beliau, yang sudah sepuh dan dalam perjalanan jauh (yang notabene secara syariat diijinkan untuk tidak berpuasa), akhirnya terpaksa harus menahan lapar cuma karena tidak ada warung makan yang berani buka. (Alangkah elok adegan yang bisa kita bayangkan bila, misalnya, suatu saat kita masuk ke sebuah warung makan dan menemukan bahwa pemilik dan pelayannya ternyata berpuasa, dan tetap ramah dalam meladeni para tamu yang membutuhkan jasanya.)
Belum lagi mereka yang tidak bisa berpuasa karena beban pekerjaan kasar yang secara fisik menguras tenaga. Orang-orang semacam ini tentu tetap butuh ruang untuk memenuhi kebutuhannya akan makan dan minum.
Seorang Kiai pernah bercerita pada saya, bagaimana dia sempat ‘dimarahi’ oleh kuli angkut cuma lantaran bertanya tentang alasannya tidak berpuasa.
“Lha sampeyan lihat sendiri, dari pagi sampai sore saya banting tulang di tengah terik matahari, mengangkat barang-barang yang tidak ringan. Bagaimana saya kuat bekerja kalau harus berpuasa? Lha kalau saya tidak bekerja, lantas siapa yang akan menanggung nafkah anak isteri saya? Apa sampeyan mau membayari saya?”
Sementara bagi mereka yang tidak berpuasa karena tidak yakin benar tentang manfaat puasa, pun tak sepenuhnya bisa disalahkan. Paling tidak, karena selama ini mereka yang berpuasa sendiri tidak pernah memberikan contoh nyata manfaat puasa dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Yang terjadi justru sebaliknya, begitu Ramadan selesai orang selalu kembali ke tradisi hidup ‘normal’nya. Yang maling kembali maling, yang merampok kembali merampok, yang melimbahi rakyat dengan aneka bencana tetap istiqomah meneruskan kebiasaannya, yang sampai botak kepalanya memikirkan cara untuk mengundangkan aturan-aturan yang memberinya kesempatan lebih luas untuk menjarah kekayaan alam akan kembali membotaki kepalanya, dan seterusnya dan sebagainya.
Kekeliruan yang lebih lucu -yang pada dasarnya dilatari nalar yang sama sebangun dengan semangat sebulan bersuci dan sebelas bulan berlomba mengotori- adalah tradisi menutup tempat-tempat hiburan untuk menghormati bulan puasa.
Dengan penyikapan seperti ini, bulan Ramadan tiba-tiba diangkat menjadi semacam institusi yang bisa memberi label haram bagi lokasi-lokasi tertentu seperti tempat hiburan. Sementara bulan-bulan lainnya tak memiliki otoritas yang sama, sehingga tempat hiburan dan semacamnya bisa kembali ke posisi normalnya, bisa terus beroperasi secara halal di depan hukum.
Eling lan Waspada
Kekeliruan-kekeliruan semacam ini tampaknya lahir dari kegagapan kita dalam mengejawantahkan nilai dan semangat keagamaan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Mengelirukan jelas lebih gampang, lebih mungkin direalisasikan dan secara psikologis lebih cepat memberi kepuasaan karena -tanpa harus menyentuh substansinya- seolah-olah kita sudah bisa melunaskan tugas ‘keagamaan’ yang dibebankan di pundak kita.
Lebih-lebih di zaman yang ‘sangat cair’ seperti sekarang, dimana nilai-nilai dan lembaga-lembaga berada dalam pergerakan dan pergeseran yang begitu cepat; dimana orientasi dan tujuan bisa cepat berubah; dimana lalu lintas ide dan gagasan begitu simpang siur membingungkan kita. Pendek kata, zaman yang tidak jauh berbeda -atau bahkan lebih kompleks- dari yang diidentifikasi oleh Ronggowarsito sebagai zaman edan.
Yang menarik, di akhir syairnya –Serat Kalatidha– yang mengurai masalah zaman edan ini, Ronggowarsito justru menyimpulkan bahwa ‘betapapun beruntungnya orang-orang yang ngedan(larut dalam carut marut kegilaan sosio-ekonomi-politik-budaya), tetap lebih beruntung mereka yang eling lan waspada.
Kualitas eling lan waspada (ingat dan waspada) inilah yang menurut Ronggowarsito justru dibutuhkan agar orang bisa tetap jernih dan lurus ketika harus berhadapan dengan carut marut kegilaan zamannya.
Eling lan waspada adalah kualitas dimana orang selalu dalam situasi ‘ingat Tuhan’ (dzikir) dan berhati-hati (ingat, kata berhati-hati berakar pada kata hati dan bermakna asal: menjaga hati) untuk selalu menjaga dan menahan diri dalam perjumpaanya dengan realitas. Sebuah istilah yang oleh banyak orang disebut sebagai tafsir Jawa-nya Ronggowarsito atas konsep taqwa.
Ironisnya, kualitas eling lan waspada inilah yang sebenarnya justru ingin dicapai lewat ibadah puasa di bulan Ramadlan, ‘agar kamu bertaqwa’ (QS 2:183). Ibadah puasa yang -sadar atau tidak- acap kita kelirukan esensinya, dan intronya justru dibuka oleh sikap yang ‘agak’ kurang menjaga dan menahan diri.
Karena, kalau kita pahami puasa dalam perspektif ini, mestinya kekeliruan penyikapan semacam ini -yang tampaknya lahir sebagai reaksi instan atas zaman yang semakin edan- tak perlu terjadi.
Ukuran keberhasilan puasa adalah lahirnya pribadi-pribadi yang selalu lebih eling lan waspada dari sebelumnya. Pribadi-pribadi yang teduh, mampu mengayomi dan selalu menebar kerahiman bagi sesamanya. Dan pasti bukan pribadi-pribadi yang gampang terjebak dalam pengeliruan-pengeliruan sistemik yang dibuatnya sendiri, apalagi pribadi-pribadi yang belum apa-apa sudah minta perlakuan khusus: dihormati!
Catatan:
Penulis adalah seorang budayawan sekaligus pendiri Rumah Adab Mulia Indonesia di Pati Jawa Tengah.