
Penulis: Tatik Susanti, S.Pd.SD.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kemajemukan bangsa yang sangat tinggi dibanding dengan beberapa di kawasan asia tenggara, bahkan dunia. Kemajemukan tersebut dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua dimana dapat menjadi unsur yang potensial dalam membangun keunggulan bangsa, namun di lain sisi jika kemajemukan tersebut tidak dibina secara berkelanjutan, maka akan menjadi pintu kehancuran bagi bangsa.
Berdasarkan realitas sosial, dalam tatanannya banyak sekali terdapat gesekan-gesekan antar masyarakat hampir di berbagai daerah seperti bentrokan antar kelompok, perusakan fasilitas-fasilitas agama, hingga kerusuhan yang diakibatkan oleh aktivitas keagamaan yang mana pada umumnya dipicu oleh hal-hal sepele seperti kesenjangan sosial, bahkan perbedaan pandangan dan keyakinan dalam hal keagamaan. Berbagai masalah tersebut muncul lantaran telah lunturnya nilai-nilai luhur seperti toleransi dan bagaimana cara menghargai perbedaan pendapat dan pandangan yang seharusnya diajarkan di semua jenjang pendidikan.
Terlebih, dalam aspek pendidikan, terdapat pula berbagai aspek perbedaan anak dalam hal tampilan fisik, komunikasi, kemampuan, sikap dan perilaku yang menjadikan mereka sangat rentan mengalami diskriminasi. Khususnya pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus yang sering kali diperlakukan tidak adil dimana mereka harus bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang pada umumnya terletak di ibu kota provinsi atau kabupaten. Padahal anak dengan kebutuhan khusus tersebut tersebar di seluruh penjuru wilayah yang ada di Indonesia. Akibatnya, sebagian ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) terutama yang berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah terpaksa tidak mengecap bangku sekolah, lantaran jarak antara rumah dan sekolah yang terlampau jauh, dan jika disekolahkan di sekolah-sekolah terdekat tidak ada yang mau menerima dengan beragam alasan yang dipaparkan.
Berbagai permasalahan yang telah dipaparkan di atas dapat mengakibatkan salah satu kesalahan fatal dalam sistem pendidikan kita yaitu kegagalan program wajib belajar dan tidak optimalnya wacana pendidikan inklusif yang seharusnya dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Lebih spesifik terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) yang terpaksa harus membatasi jenjang pendidikannya karena memang tidak didukung sarana prasarana pendidikan yang memadai. Padahal mereka sebagai anak bangsa juga berhak atas pendidikan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundangan.
Mandat konstitusi kita yang tepatnya terletak dalam Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa dalam hak asasi manusia, salah satunya adalah hak dalam mendapatkan pendidikan bagi setiap orang tanpa terkecuali. Dalam hal ini, Pendidikan inklusif adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Secara sederhana ada beberapa hal yang bisa kita pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajar secara bersama-sama, (b) Keberadaan anak-anak jangan didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam pembelajaran, (c) Tidak ada satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan.
Pendidikan inklusif merujuk pada pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan melalui pendidikan inklusif memiliki arti penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Secara teoritis pendidikan inklusif adalah proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.
Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sekolah inklusif adalah sekolah biasa/reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, mental, cerdas, berbakat istimewa, suku terasing, korban bencana alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tunawisma, anak terbuang, anak yang terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak nomaden dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya
Pembelajaran di sekolah inklusif harus dapat menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya.
Dengan demikian pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan-perbedaan individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
Pembelajaran ini juga menuntut guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional dimana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara, pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain.
Pada dasarnya tugas guru yang paling utama adalah mengajar dan mendidik. Sebagai pengajar ia merupakan medium atau perantara aktif antara siswa dan ilmu pengetahuan, sedang sebagai pendidik ia merupakan medium aktif antara siswa dan haluan/filsafat negara dan kehidupan masyarakat dengan segala seginya, dan dalam mengembangkan pribadi siswa serta mendekatkan mereka dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang baik dan menjauhkan mereka dari pengaruh-pengaruh yang buruk.
Dengan demikian seorang guru wajib memiliki segala sesuatu yang erat hubungannya dengan bidang tugasnya, yaitu pengetahuan, sifat-sifat kepribadian, serta kesehatan jasmani dan rohani. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh guru yang unggul dan tangguh di sekolah inklusif, yaitu:
(1) Kemampuan Umum (general ability) antara lain adalah memiliki ciri warga Negara yang religius dan berkepribadian, memiliki sikap dan kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai warga negara, memiliki sikap dan kemampuan mengakui dan menghargai keberagaman peserta didik.
(2) Kemampuan dasar (basic ability) meliputi memahami dan mampu mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, memahami konsep dan mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, mampu memberikan layanan bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus, mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
(3) Kemampuan khusus (specific ability) kemampuan ini meliputi mampu melakukan modifikasi perilaku, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan intelektual dan lamban belajar menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan anggota tubuh dan gerakan, menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan perilaku dan sosial dan menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami kesulitan belajar.
Oleh karenanya, berdasarkan pemaparan diatas, pendidikan inklusif dapat menjadi jawaban atas permasalahan kesetaraan akses pendidikan dan juga dapat menjadi alat untuk menerapkan keadilan dalam bidang pendidikan bagi seluruh anak yang sedang berada dalam masa wajib belajar di penjuru tanah air, sehingga tidak ada lagi anak yang putus sekolah atau terpaksa tidak dapat mengenyam bangku pendidikan.
Artikel ditulis oleh Tatik Susanti, S.Pd.SD, NIP: 197604182006042011, SDN Porang Paring, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.
