Mitigasi Kerusakan Iklim dalam Kurikulum Merdeka

Mitigasi Kerusakan Iklim dalam Kurikulum Merdeka
Gambar ilustrasi

Penulis: Heru Nurfiq, S.Pd.,SD

Climate Change atau perubahan iklim menjadi topik diskusi para ahli belakangan ini. Kerusakan lingkungan mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan dan mengancam kelangsungan hidup penduduk bumi. Selain cuaca panas hingga 53 derajat celcius di wilayah Asia, bencana alam seperti banjir, gempa, angina topan, kekeringan dan kebakaran hutan juga melanda sejumlah kawasan secara bergelombang

Kondisi Bumi Mengkhawatirkan

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena perubahan iklim kian mengkhawatirkan. Peristiwa alam seperti suhu udara yang sangat panas berdampak pada terganggunya siklus hodrologi hingga memicu bencana di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

“Perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena ini memiliki dampak dan resiko yang besar terlebih pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Karenanya, perlu aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat,” kata Kepala (BMKG) Dwikorita Karnawati, Senin (20/3/2023).

Menurut catatan BMKG, rentang tahun 2015-2022 merupakan tahun terpanas di Indonesia. Data BMKG tersebut sesuai dengan data yang di rilis oleh World Meteorological Organization (WMO) yang menyatakan tahun 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dunia.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebut kerusakan iklim saat ini “nyaris tanpa harapan”. Pemanasan global terbukti memperparah siklus badai tropis dan naiknya permukaan air laut. Gelombang panas mematikan melanda Amerika Selatan dan Asia, banjir besar yang melanda Pakistan serta kekeringan parah di Amerika dan Eropa Barat menjadi bukti rusaknya iklim dunia.

“Kita sudah mendekati titik tanpa harapan,” keluh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, Minggu (19/3/2023) malam di Swiss.

Data yang dirilis PBB, dari sejumlah penelitian selama 10 tahun terakhir, mengisyaratkan bahaya kerusakan iklim hingga titik kritis. Jika dibiarkan, pada puncaknya pemanasan global akan membuat hutan tropis berubah menjadi sabana (padang rumput dan semak belukar). Ancaman bahaya lain adalah naiknya permukaan laut hingga beberapa meter dalam beberapa tahun mendatang.

Mitigasi dan Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan menempati posisi penting dalam penanggulangan kerusakan iklim. Mitigasi bencana akibat perubahan iklim dapat dimulai melalui kegaitan belajar mengajar. Hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, menanam pohon dan yang lainnya dapat diajarkan sebagai kebiasaan yang baik (good habit) sejak masa pendidikan dasar.

Kurikulum Merdeka memiliki 6 dimensi yang salah satunya adalah akhlak (moral) terhadap alam, yaitu:

“Memahami keterkaitan ekosistem di bumi dan menjaga ekosistem lingkungan alam sekitar”.

Dimensi ini juga menjadi muatan visi dan misi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.

Implementasi

Implementasi Kurikulum Merdeka memberi ruang satuan pendidikan menambahkan muatan lokal sesuai dengan kearifan lokal atau karakteristik daerahnya. Penerapannya dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:

  1. Mengembangkan muatan lokal menjadi mata pelajaran sendiri.
  2. Mengintegrasikan muatan lokal ke dalam seluruh mata pelajaran.
  3. Melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila.

Dalam interaksinya dengan alam, bangsa Indonesia sudah memiliki sistem yang menakjubkan. Sistem yang berjalan secara turun temurun ini terbukti mampu menjaga ekologi dan iklim tetap lestari.

Beberapa budaya dan kearifan lokal yang masih terjaga di nusantara antara lain:

  • Sistem Sasi

Sistem Sasi adalah pengaturan waktu bagi penduduk setempat untuk mengambil hasil laut di wilayah adatnya. Penduduk hanya boleh menangkap ikan pada saat-saat tertentu. Dengan demikian, flora dan fauna laut bisa memperbaharui diri dan berkembang biak dengan baik di wilayah Maluku dan Papua.

  • Ilmu Tiga Hutan

Suku Sakai di Riau membagi wilayah hutan mereka menjadi tiga bagian yaitu hutan adat, hutan larangan, dan hutan perladangan. Di hutan adat, penduduk hanya boleh mengambil rotan, damar, dan madu lebah, tanpa menebang pohonnya. Sedangkan hutan larangan sama sekali tidak boleh diusik. Sementara hutan perladangan boleh ditebang untuk dijadikan ladang tapi tidak semua pohon boleh ditebang, misalnya pohon sialang yang menjadi tempat bersarangnya lebah madu.

  • Pamali

Pamali dalam bahasa Sunda berati tabu alias tidak boleh. Aturan ini tidak tertulis  tapi sangat dipatuhi oleh masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. Penduduk Kampung Naga percaya jika melanggar adat hidupnya tidak bakal selamat. Peraturan tersebut di antaranya tidak  boleh mengusik Leuweng Larangan atau Hutan Larangan. Karenanya, penduduk membiarkan pohon tumbang di hutan sampai membusuk. Mereka juga tidak berani menangkap binatang di hutan. Ilmu Pamali membuat hutan mereka tetap lestari. Penduduk yang melanggar aturan akan dihukum, misalnya  didenda  atau  diusir  dari  wilayahnya.  Hukuman   berlaku   untuk   semua   orang, bahkan bathin atau kepala suku yang tertangkap melanggar aturan akan dicopot kedudukannya.

  • Perladangan Gilir Balik

Suku Dayak Bantian di Kalimantan Timur menanam padi, sayuran, rotan, dan buah-buahan di hutan. Mereka menggunakan sistem perladangan gilir balik. Mereka membuka hutan untuk dijadikan ladang selama 2 tahun, setelah itu mereka mencari ladang baru dan membiarkan ladang lama menjadi hutan kembali. Begitu seterusnya dan tidak semua hutan boleh dijadikan ladang. Ada pula wilayah hutan yang hanya boleh diambil hasilnya. Buah-buahan hutan yang tidak termakan oleh penduduk, dibiarkan di hutan agar dimakan oleh satwa liar.

  • Pikukuh

Pikukuh bagi masyarakat Baduy di Banten adalah aturan yang harus ditaati oleh warganya dan oleh pengunjung yang datang. Aturan itu antara lain, dalam pertanian dilarang menggunakan teknologi kimia seperti pupuk buatan dan racun pemberantas hama.( Sumber: https://www.idntimes.com/life/inspiration/shandy-pradana/5-kearifan-lokal-ini-bantu-kurangi- efek-global-warming-c1c2/5)

  • Bumi adalah Ibu

Masyarakat Samin atau biasa disebut dengan Sedulur Sikep memiliki keyakinan bahwa alam dan lingkungan memiliki kedudukan yang sama dengan ibu. Masyarakat Samin menempatkan bumi yang memiliki unsur air dan tanah seperti ibu, sehingga, mereka memperlakukan alam dan lingkungan selayaknya penghormatan dan penjagaan sebuah keluarga terhadap ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya.Dalam sebuah penelitian, terungkap bahwa perempuan Samin tidak menggunakan kosmetik modern dan hanya menggunakan beras kencur sebagai kosmetik alami.

Materi pelajaran bermuatan ancaman iklim dan ekologi yang diajarkan di sekolah dasar menjadikan siswa memiliki kesadaran dan memiliki kebiasaan (habit) yang ramah lingkungan. Di negara yang sarat dengan budaya dan kearifan lokal yang ramah lingkungan, peserta didik dapat menjadi agen perubahan (agent of change) dan mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan iklim.

Catatan:

Artikel ditulis oleh Heru Nurfiq, S.Pd.,SD, NIP: 197201052009031002, SDN Sumbersoko 01, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah

Komentar