Mengenal Eigendom Verponding dan Ketentuannya di Indonesia

Contoh surat tanah Eigendom Verponding. (Foto: pinhome.id)

5NEWS.CO.ID,- Persoalan mengenai status hak atas tanah di Indonesia menjadi pembahasan yang seolah tak akan pernah usai, bukan hanya di kalangan para ahli hukum, tapi juga di kalangan masyarakat karena hal ini menyangkut kebutuhan vital mereka mengenai tempat tinggal.

Belakangan, ramai sengketa lahan di Bandung, Jawa Barat hingga berujung konflik, dimana konflik bermula dari salah satu keluarga yang mengklaim kepemilikan tanah di Dago Elos. Untuk menguatkan klaimnya, keluarga tersebut menunjukkan surat Eigendom Verponding sebagai bukti kepemilikan lahan. 

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa itu Eigendom Verponding dan bagaimana ketentuannya di Indonesia?

Istilah eigendom berasal dari kata dalam bahasa Belanda yang mengacu pada kepemilikan atau properti. Dalam konteks hukum, istilah ini sering kali merujuk pada hak milik atas suatu objek atau properti yang dimiliki oleh individu atau badan hukum tertentu.

Eigendom verponding adalah suatu produk hukum bukti kepemilikan tanah yang pertama kali diberlakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kerangka hukum agraria warisan Belanda ini tetap dipertahankan sebagai pengakuan sah terhadap kepemilikan tanah yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Menurut definisi dalam Kamus Hukum terbitan Indonesia Legal Center, mengutip Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, “eigendom” merujuk pada hak milik mutlak. Sedangkan “verponding” diartikan sebagai kepemilikan harta tetap.

Meskipun pada saat ini hukum eigendom verponding kurang relevan, namun kepemilikan tanahnya masih dapat diajukan dengan syarat memiliki Surat Hak Milik (SHM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), atau hak pakai.

Dikarenakan dibentuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1960, pemerintah memberi kesempatan bagi pemilik eigendom verponding selama 20 tahun untuk mengubah status kepemilikan tanah tersebut menjadi sesuai hukum Indonesia. Jika langkah ini tidak diambil, secara otomatis tanah-tanah tersebut akan menjadi milik negara.

Pengaturan mengenai “eigendom” sendiri termuat dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), namun kemudian dicabut oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Pada tahun 1960, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Undang-undang ini menjadi dasar hukum utama terkait pertanahan. Bagian Kedua Pasal I ayat (1) UUPA membahas konversi hak atas tanah “eigendom” menjadi hak milik. Namun, UUPA tidak memberikan definisi khusus mengenai konversi hak atas tanah tersebut.

Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1998 Tentang Pendaftaran Tanah, pemilik hak tanah eigendom bisa melakukan konversi sesuai aturan yang berlaku.

Komentar