
Penulis: A. Malik
Ada sebuah pengertian menarik berkaitan dengan rasa bersyukur. Yakni sebuah pengertian yang dipaparkan oleh pijarpsikologi.org. sebuah pemaparan yang cukup mewakili terutama untuk pembahasan kita kali ini.[1] Disebutkan bahwa bersyukur adalah kondisi emosi yang selalu mengizinkan kita untuk selalu berbahagia atas apa yang kita miliki. Berysukur itu bukan hanya saat ada orang yang menolong kita, membantu kita, atau ungkapan terima kasih yang kita sampaikan pada Tuhan saat beribadah saja. Namun, lebih kepada kondisi emosi yang selalu kita jaga.[2]
Dengan kata lain, bersyukur adalah sebuah kondisi kejiwaan seseorang yang akan menerima apapun kenikmatan yang diterimanya sehingga kondisi ini akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan pada diri seseorang tersebut. Sudah tentu kondisi ini adalah sebuah kondisi yang tidak akan terlepas dari kemampuan seseorang dalam melihat sisi positif akan sesuatu yang diterimanya. Dimana kemampuan melihat sisi positif ini yang merupakan titik awal datangnya kondisi-kondisi positif lainnya seperti ketenangan, kebahagiaan, rasa optimis dan sebagainya.
Dari sini pula sesungguhnya kita akan mulai merasakan adanya hukum berpikir paralel, yakni datangnya segala hal yang positif disebabkan dominasinya pikiran oleh hal yang positif.
Jadi secara psikologis, energi positif yang cukup besarlah yang akan terpancar dari sikap ‘syukur’, sehingga tidak mengherankan jika aura seseorang yang dipenuhi rasa syukur akan dengan sendirinya memancarkan semangat untuk menjalani kehidupannya. Ini adalah sebuah keadaan yang sama sekali berkebalikan dengan sikap ‘suka mengeluh’, sebuah sikap yang muncul sebagai akibat dari kufur nikmat. Dimana seseorang yang suka mengeluh lebih memancarkan energi negatif. Semakin dia mengeluh, maka semakin besar energi negatif yang terpancar dari dirinya hingga akan semakin banyaklah sesuatu yang akan dia keluhkan. Karena sikap mengeluh hanya akan menciptakan pandangan-pendangan negatif terhadap sesuatu, bahkan sesuatu yang sebenarnya positif saja akan memiliki celah untuk dikeluhkan. Maka sekali lagi kita melihat betapa hukum berpikir paralel telah berlaku di sini dengan menyebarnya pikiran-pikiran negatif.
Pada surat Ibrahim ayat 7 tersebut dikatakan bahwa akan ditambahkan nikmat pada seseorang yang mau mensyukuri nikmat Allah. Dan sekali lagi, wujud penambahan nikmat dari Allah yang sangat nyata adalah munculnya cara pandang positif terhadap hal-hal lain pada kehidupannya. Sudah tentu dengan selalu berpandangan positif terhadap segala sesuatu yang dihadapinya akan semakin membuatnya lebih mudah menjalani kehidupan. Sehingga bukan saja dia akan menjalani segala kesulitan yang dihadapi dengan perasaan yang diliputi ketenangan dan kebahagiaan, bahkan akhir yang akan dia dapatkan pun tidak lain adalah keberhasilan dalam segala hal di dalam kehidupannya. Inilah kebenaran janji Allah sebagaimana pada ayat di atas, bahwa Allah akan menambahkan nikmat-Nya kepada siapa saja yang suka bersyukur. Ini adalah wujud penambahan nikmat Allah bagi orang-orang yang bersyukur.
Sebaliknya seseorang yang mengingkari nikmat Allah, maka akan diberikannya azab yang pedih. Dan apakah sepedih-pedihnya azab dalam kehidupan kita di dunia ini?
Tentu saja kita bersepakat jika dikatakan bahwa ‘kegagalan hidup’ adalah sepedih-pedihnya azab bagi seseorang dalam kehidupannya di dunia. Dan kita ketahui bahwa kegagalan hidup hanya akan didapatkan oleh mereka yang banyak mengeluhkan apa yang terjadi pada dirinya. Dan orang yang banyak mengeluh adalah orang yang tidak pernah mau mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dia pikir tidak sedikit pun Allah berikan kepadanya nikmat, padahal sebenarnya kehidupannya saja merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepadanya. Bahkan pendengaran, penglihatan dan hati yang dia miliki juga merupakan nikmat Allah yang besar juga. Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, maka seseorang yang tadinya tidak mengetahui sesuatupun menjadi mengetahui akan sesuatu.
Sebagaimana dalam hal ini Allah SWT telah berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl [16]: 78).
Seseorang yang suka mengeluh tidak berpikir tentang segala nikmat besar ini. Sehingga dia akan terus-menerus mengeluhkan kehidupannya sampai-sampai dia tidak lagi mampu melihat potensi pada dirinya yang kadangkala tidak semua orang memilikinya sebagaimana yang dia miliki. Reaksi negatifnya terhadap nikmat Allah telah semakin membuatnya dikuasai energy negatif sehingga apa yang dia peroleh adalah azab-Nya yang paling pedih yakni kegagalan hidup. Dengan kegagalan hidupnya itu dia tidak akan bisa menikmati manisnya kebahagiaan dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akherat kelak. Telah terjadi hukum berpikir paralel di sini, terlihat dari menyebarnya pikiran-pikiran negatif pada diri seseorang yang kufur atas nikmat yang diterimanya.
Dari sini kita memahami bahwa meskipun Edward De Bono telah dicanangkan sebagai pencetus ‘berpikir paralel’, kemudian Dr. Ibrahim Elfiky telah mengerucutkannya dari frame psikologis kognitif, namun sesungguhnya mereka hanya memberikan sebuah system penjelas saja kepada kita. Sebab, adanya hukum berpikir paralel adalah sebuah keniscayaan. Bahwa seseorang yang selalu diliputi kebahagiaan akan mendapatkan kebahagiaan demi kebahagiaan lainnya, dan kemudian seseorang yang diliputi kesuraman akan mendapatkan kesuraman demi kesuraman lainnya, merupakan keniscayaan yang telah ditetapkan Sang Penguasa sebagai sebuah hukum alam yang menimpa manusia sebagai makhluk ciptaan dengan segala kondisinya. Dan secara tidak langsung Allah telah mengatakannya melalui surat Ibrahim ayat 7.
Maka kemudian menjadi logis jika dikatakan bahwa bukan hanya hal ini berlaku pada seorang muslim, namun akan berlaku juga pada manusia secara keseluruhan. Sebuah kondisi menerima keadaan dirinya kemudian merasa tenang dan bahagia untuk selanjutnya muncul sikap optimis dan segala sifat positif lainnya, adalah sebuah kondisi yang siapapun bias mengalami. Hanya saja, bagi seorang muslim jelas akan memiliki nilai lebih disebabkan dia akan bersikap sebagai makhluk bertuhan. Dalam artian, akan dhubungkannya segala keadaan dirinya itu dengan Sang Penciptanya.
Penulis adalah mahasiswa S2 jurusan Ilmu Tafsir Universitas Sains Al Quran Jawa Tengah di Wonosobo.
[1] Ada banyak pengertian dengan berbagai redaksinya. Namun kita sengaja mengambil pengertian dari sini karena cukup mewakili dalam hal redaksi dan maknanya, terutama berkaitan dengan pembahasan kita kali ini.
[2] https://pijarpsikologi.org/berbahagia-dengan-bersyukur/