Keniscayaan Hukum Berpikir Paralel dalam Surat Ibrahim Ayat 7 (bagian 2)

Berpikir Paralel dalam Al Quran 2

Penulis: A. Malik

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

 “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Sekilas ketika kita membaca ayat tersebut kita akan mengetahui dan memahami maknanya. Kita akan dengan mudah menangkap makna dari firman Allah itu. Hanya saja, ada makna mendalam yang seringkali terlupakan dari sebagian besar umat Islam. Yakni tatkala kita mencoba untuk lebih memahami lebih mendalam pada makna dari “syukur nikmat” dan “kufur nikmat” itu sendiri, serta bagaimana efek-efeknya.

Sesungguhnya, ada efek yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim jika mengetahui dengan jelas makna ayat tersebut terutama dari sudut psikologis kognitif. Karena itu di sini kita akan mencoba untuk masuk ke dalam pembahasan ayat tersebut dari sisi psikologis kognitif, yang sangat mungkin jika memang seperti itulah seharusnya seorang muslim ketika memahami ayat tersebut. Karena ternyata telah berlaku hukum berpikir parallel pada reaksi seseorang dalam kehidupannya dimana hal ini sekaligus sebagai bukti kebenaran firman Allah tersebut, yaitu berkenaan dengan penambahan nikmat-Nya dan pemberian azab-Nya. Sebelumnya, mari kita tengok barang sebentar berkaitan dengan hukum berpikir paralel.

Berkenaan dengan istilah ‘pemikiran paralel’ sendiri, awalnya adalah muncul dari seorang pakar berpikir yang berasal dari Malta, Eropa Selatan yaitu Edward De Bono. Secara umum pemikiran paralel adalah pengembangan lebih lanjut dari proses berpikir lateral, yakni sebuah proses berpikir yang lebih berfokus pada eksplorasi.

Seperti dalam sebuah rangkaian listrik parallel, dimana pada rangkaian-rangkaian tiap komponennya disusun secara sejajar hingga akan terdapat lebih dari satu jalur listrik. Maka demikian pula kita memahami berpikir paralel.

Dalam sebuah hal pada berpikir paralel, pikiran akan mengeksplore hal-hal lain yang sejenis atau sisi-sisi lain dari suatu hal tersebut sebelum kemudian muncul sebuah ide atau keputusan.

Akan lebih mudah lagi memahami berpikir paralel ini jika kita juga melihat arah berpikir yang lainnya yaitu berpikir seri. Edward De Bono dalam bukunya Teach Your Child How To Think (Revolusi Berpikir Edward De Bono) menggambarkan kedua arah berpikir ini dengan penjelasan yang sangat mudah dipahami. Jika digambarkan pada pergerakan sesuatu, maka dalam arah berpikir seri kita akan mendapatkan bahwa dari suatu titik A kita akan bergerak ke titik B lalu ke titik C. Kalau kita melakukan A dan B secara bersamaan maka kita akan maju ke C. Dengan kata lain, arah kita ditentukan oleh titik tempat kita sekarang berada. Sedangkan dalam berpikir paralel, kita melakukan A, B, dan C semuanya secara serentak. Tidak ada salah satu dari ketiganya yang harus dilalui lebih dahulu sebelum melakukan yang lainnya. (Edward De Bono, 2007).

Penjelasan di atas sudah tentu memberikan gambaran yang sangat jelas bagi kita tentang berpikir paralel. Setidaknya dari pemahaman ini kita akan lebih masuk ke pembahasan sebagaimana tema yang kita angkat.

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dalam kaitannya dengan tema pembahasan kita ini, ada sebuah penjelasan yang cukup mudah untuk kita pahami berkenaan dengan hukum berpikir paralel. Yaitu sebuah penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Ibrahim Elfiky, seorang maestro motivator muslim dunia. Dia menuliskan dalam bukunya Terapi Berpikir Positif bahwa dalam hukum berpikir parallel terkandung makna: Apapun yang Anda pikirkan pasti menyebar luas sesuai dengan apa yang Anda pikirkan. Akal pun member data-data yang sejenis dengan pikiran itu yang tersimpan dalam memori (Dr. Ibrahim Elfiky, 2010).

Jika pikiran seseorang dikuasai kemarahan, maka secara otomatis pikirannya akan mendatangkan hal-hal apapun yang berkaitan dengan kemarahan. Sehingga pada akhirnya hal sepelepun akan mendatangkan kemarahan. Padahal jika dalam situasi normal hal tersebut terlalu naif jika membuatnya marah. Begitupun jika pikiran dikuasai kesedihan. Maka segala hal yang menyedihkan pun akan berlomba-lomba masuk ke alam pikirannya.

Sebaliknya, jika pada situasi pikiran dikuasai kegembiraan maka dengan sendirinya segala hal akan masuk ke pikirannya sebagai data-data yang menggembirakan pikirannya. Inilah maksud dari terjadinya hukum berpikir paralel.

Kemudian jika kita melihat kembali kandungan surat Ibrahim ayat 7 dan kita mendapati bahwa ayat tersebut adalah berkenaan dengan syukur nikmat dan kufur nikmat beserta balasan-balasannya, kita akan mulai meraba berlakunya hukum berpikir paralel ini.

Adalah sebuah maklumat, sebuah janji Allah bahwa siapapun yang bersyukur atas nikmat-nikmat yang diterimanya maka pasti Allah akan menambahkan nikmat-Nya. Dan sebaliknya, Allah mengancam siapapun yang kufur atas nikmat yang diterimanya dengan azab-Nya yang pedih.

Maka jika itu adalah sebuah janji yang keluar dari Sang Pemilik alam semesta ini, sudah pasti tidak akan ada pengingkaran atas janji itu. Artinya, bahwa apa yang akan terjadi pada kehidupan seseorang adalah pasti terkait dengan sebuah kondisi sebagaimana dalam surat Ibrahim ayat 7 itu.

Jadi dalam fenomenanya, semakin banyaknya nikmat seseorang dan semakin banyaknya azab yang diterima seseorang adalah terkait dengan bagaimana sikap seseorang tersebut terhadap nikmat yang dia peroleh.

Efek yang diterima dari reaksi seseorang terhadap nikmatnya adalah efek yang akan dirasakannya baik dalam kehidupan di dunia ini maupun dalam kehidupannya kelak di akherat. Karena jelas ayat tersebut tidaklah membicarakan tentang penambahan nikmat atau pemberian azab di akherat atau di dunia saja. Tidak adanya persinggungan akan hal tersebut, sudah tentu memberikan pemahaman kepada kita jika hal itu mencakup keduanya. Yaitu efek yang akan diterimanya di dunia maupun yang akan diterimanya kelak di akherat.

Melalui pembahasan dengan frame psikologis kognitif, kita akan menangkap secara jelas pesan Allah SWT, hingga kemudian kita akan memperoleh pemahaman mengapa kondisi itu ternyata berlaku universal. Artinya, bahwa hal itupun akan berlaku bagi siapapun orangnya meskipun dia bukanlah seorang muslim secara dhohir. Siapapun orangnya yang berada dalam keadaan ‘bergembira’ atau ‘senang’ dengan apa yang ada pada dirinya, maka bersiaplah dia untuk mendapatkan sesuatu yang akan lebih menggembirakannya. Begitupun sebaliknya.

Hal ini berkenaan dengan kondisi syukur dan kufur, yang mau tidak mau, tidak akan terlepas dari sebuah cara pandang positif. Siapapun orangnya. Dan nilai lebih bagi seorang muslim, yang ini merupakan nilai spiritual, adalah lahirnya sebuah sebuah sikap husnuzan kepada Tuhannya. Sudah tentu sikap ini akan memberikan efek lebih dari pada sekedar efek dari cara pandang positif.

Sampai di sini kita mulai memahami keniscayaan hukum berpikir paralel pada surat Ibrahim ayat 7. Keniscayaan hukum ini telah memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada kita akan bagaimana efek yang terjadi dalam kehidupan seseorang secara psikologis dari adanya rasa syukur, juga efek apa yang muncul terhadap hal yang sebaliknya yakni ‘kufur nikmat’. (bersambung…)

Penulis adalah mahasiswa S2 jurusan Ilmu Tafsir Universitas Sains Al Quran Jawa Tengah di Wonosobo.