
Penulis: Surinah, S.Pd.SD
Era 70-80-an, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) wajib diajarkan di setiap lembaga pendidikan mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Sebelumnya, berdasarkan kurikulum 1968, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan sekolah.
Selanjutnya, sejak ditetapkannya Tap. MPR II/MPR/1973, sistem pendidikan di tanah air menggunakan Kurikulum 1975. Misi pendidikan nasional kala itu menjadikan mata pelajaran PMP berisi materi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) wajib diajarkan di sekolah. PMP berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Amanat pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 2 Pasal 39 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Kurikulum 1984, sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975. Kurikulum 1984 mewajibkan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai mata pelajaran wajib untuk seluruh jenjang pendidikan.
Kemudian pemerintah menetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Amanat pendidikan nasional dalam UU Pendidikan Nasional terangkum dalam Kurikulum 2006 mengubah nama mata pelajaran PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Sejak berlakunya kurikulum 2013 hingga Tahun 2022, nama mata pelajaran PKn kembali lagi menjadi PPKn. Hingga akhirnya terbit Keputusan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 56 Tahun 2022 yang mengganti mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menjadi Pendidikan Pancasila (PP).
Masalah Pendidikan Nasional
Para ahli memaknai pendidikan pendidikan umum sebagai pendidikan nilai. Menurut Raven (1977:162), tujuan pendidikan umum adalah mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial karena berfungsi sebagai acuan bertingkah laku terhadap sesama agar seseorang dapat diterima di masyarakat.
Artinya, tanpa pendidikan nilai, seseorang sulit diterima di masyarakat. Misalnya, seseorang telah menempuh pendidikan akademik hingga meraih gelar doktoral di sebuah bidang ilmu. Kemudian orang tersebut kerap menyombongkan diri, merendahkan tokoh masyarakat lain yang tak pernah belajar di luar negeri seperti dirinya. Lambat laun, orang itu akan dijauhi oleh masyarakat dan cenderung terisolir dari lingkungan sosialnya karena banyak kalangan yang tak suka dengan perilakunya.
Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk dan multikultural dengan ratusan etnis dan budaya beragam yang tersebar di berbagai wilayah seluruh Indonesia. Keberagaman ini disatukan oleh satu identitas yaitu Indonesia.
Ancaman keutuhan bangsa ini antara lain adalah:
- Etnosentrisme
Adalah sebuah paham yang memandang budaya sendiri lebih baik dan memandang rendah budaya di luar kelompoknya.
- Prejudis
Adalah sikap yang memandang rendah perilaku, nilai dan kebiasaan suatu kelompok berdasarkan asumsi.
- Diskriminasi
Merupakan kebijakan dan praktik yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang membeda-bedakan perlakuan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam masyarakat tersebut.
- Disrupsi Teknologi dan Informasi (IPTEK)
Pada kenyataannya, sejak era milenium dengan cepatnya perkembangan IPTEK justru membawa kemunduran bagi peradaban manusia. Disrupsi informasi secara perlahan membawa peradaban manusia menuju ke titik terendah. Ketergantungan terhadap teknologi seperti smartphone dan komputer menjadikan manusia cenderung mengabaikan manusia lain dan lebih cenderung memikirkan diri sendiri atau kelompoknya.
Tak berimbangnya perkembangan teknologi dan arus informasi dengan pendidikan nilai bagi masyarakat Indonesia menjadikan bangsa ini mengalami krisis identitas dan budaya. Budaya timur yang kental dengan kesopanan, keramahan, toleransi dan gotong-royong perlahan menjadi pudar.
Generasi muda lebih memilih bermain game dan medsos dibandingkan dengan kegiatan yang bernilai bagi lingkungan masyarakatnya. Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar IAIN jakarta, globalisasi yang tak terbendung menyebabkan disorientasi dan dislokasi atau krisis budaya bagi masyarakat Indonesia.
Dampaknya, kasus kekerasan dan kejahatan semakin marak. Selain itu, perilaku hedonisme atau dudaya pamer kekayaan di ruang pubik menjadi tren bagi generasi bangsa. Teknologi yang memanjakan juga menimbulkan budaya serba instan. Contohnya, mengerjakan tugas yang dulu harus berlama-lama membaca buku di perpustakaan sebagai referensi, kini tinggal klik google.
Seluruh permasalahan tersebut menjadi masalah pendidikan nasional. Sehingga, diperlukan penyikapan dan tindakan berupa pendidikan nilai dan karakter sejak dini di tingkat pendidikan dasar.
Internalisasi Nilai-nilai Pancasila
Sumber ideologi Pancasila berasal dari kearifan lokal dalam masyarakat kita seperti silaturahmi, adat istiadat, gotong royong, beragama, musyawarah serta saling menghargai dan beradab.
Internalisasi atau penerapan Pancasila dalam keseharian hidup tidaklah susah. Karena, nilai-nilai dalam Pancasila sudah menjadi kebiasaan dan kearifan lokal orang Indonesia sejak dulu.
Untuk mengamalkan ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan melakukan hal-hal berikut ini, antara lain:
- Membiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang benar dan baik.
- Mencintai barang-barang produksi Indonesia supaya ekonomi rakyat Indonesia bisa terangkat.
- Menjaga toleransi antara umat beragama.
- Menjaga persatuan Indonesia di tengah kemajemukan dalam budaya, bahasa, etnis, dan adat istiadat.
- Musyawarah dan menciptakan keadilan sosial secara merata.
- Partisipasi dalam Pemilihan Umum sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.
Catatan:
Artikel ditulis oleh Surinah, S.Pd.SD, NIP: 197804122011012005, SDN Ngablak 02 Cluwak, Pati, Jawa Tengah.
