Digitalisasi Sekolah di Daerah Terpencil

Digitalisasi Sekolah di Daerah Terpencil

Penulis: Heru Nurfiq, S.Pd.,SD

Beberapa tahun terakhir, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencanangkan program digitalisasi sekolah. Program ini dicetuskan pertama kali pada tahun 2018 oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu. Di daerah terpencil, digitalisasi sekolah merupakan perwujudan agenda ketiga Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berbunyi:

“Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”.

Langkah Awal

Laman Kominfo menyebut program Digitalisasi Sekolah direalisasikan kepada sekitar 37.000 sekolah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pada tahun 2019, pemerintah disebut memberikan sarana pendidikan berupa komputer tablet kepada 1.753.000 siswa kelas VI, kelas VII, dan kelas X untuk sekolah-sekolah di wilayah pinggiran.

Pada tahun itu, pemerintah menggelontorkan dana sebesar 4,34 triliun untuk mendukung terlaksananya program ini. Lebih dari setengahnya, dana tersebut dialokasikan untuk mendukung operasional rutin dan akselerasi pembelajaran sekolah tertinggal.

“Untuk jaringan internet, kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Sedangkan untuk penyediaan listrik, Kementerian ESDM sudah menyanggupi untuk menyediakan pembangkit (listrik) tenaga surya,” ungkap Muhadjir Effendy seperti dikutip laman Kominfogoid, Kamis (17/10/2019).

Era Baru Dunia Pendidikan

Pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 “memaksa” penduduk bumi akrab dengan teknologi digital, tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data Kominfo, pemakaian aplikasi online melesat akibat hampir separuh dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 280 juta jiwa harus bekerja dan belajar dari rumah.

Dunia pendidikan Indonesia pun memasuki era baru digitalisasi sekolah dengan digunakannya laptop dan ponsel serta beragam aplikasi untuk kegiatan belajar mengajar jarak jauh (daring).

“Upaya digitalisasi sekolah untuk mewujudkan infastruktur kelas dan sekolah masa depan dengan penggunaan produk dalam negeri menjadi salah satu langkah strategis Kemendikbud Ristek menuju visi Merdeka Belajar,” kata Menteri Dikbudristek Nadiem Makarim dalam siaran pers, Kamis (22/7/2021) lalu.

Laman Indonesiagoid menyebut pemerintah menetapkan anggaran sebesar Rp17 triliun hingga 2024 untuk belanja produk TIK buatan dalam negeri bagi kebutuhan bidang pendidikan. Rencananya, produk TIK yang untuk memenuhi digitalisasi sekolah berupa laptop, access point, konektor, proyektor, layar proyektor, dan speaker aktif.

Baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menyebut lebih dari 71.000 sekolah telah menerima bantuan TIK. Menurut Nadiem, sekolah-sekolah itu menerima bantuan 1.253.074 perangkat TIK, seperti laptop, proyektor dan sebagainya sebagai sarana pendukung program digitalisasi sekolah.

Kemendikbudristek juga menyediakan empat platform pendidikan digital pendidikan secara gratis yaitu Platform Merdeka Mengajar, Platform Kampus Merdeka, Platform Sumber Daya Sekolah sekaligus Platform Profil Rapor Pendidikan dan Manajemen Data serta Infrastruktur.

Digitalisasi Sekolah di Daerah Terpencil (3T)

Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim menjelaskan salah satu solusi mengatasi kualitas pendidikan di sekolah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) adalah dengan memberikan dana BOS untuk sekolah di daerah yang tertinggal dan memperioritaskan distribusi TIK ke daerah-daerah tesebut. Selain itu, Kemendikbud juga berencana memberikan stimulus berupa bonus karier bagi guru-guru yang mengajar di daerah pelosok.

Sayangnya, solusi tersebut belum dapat mengatasi masalah kesenjangan pendidikan di daerah terpencil. Tidak meratanya distribusi TIK dan dana BOS menjadi kendala utama. Hal ini menjadikan peta digitalisasi sekolah berfokus ke wilayah perkotaan.

Mengutip tulisan Fidyah Aliati, Rabu (23/11/2022) di Kumparancom, kesenjangan digital awalnya hanya kesenjangan dalam mengakses komputer. Namun, seiring berkembangnya zaman ketika internet berkembang cepat di masyarakat, kesenjangan tersebut tidak hanya dalam mengakses komputer, namun dalam hal mengakses internet juga. (Van Deursen dan Van Dijk, 2010).

Tidak meratanya distribusi dana BOS dan sarana TIK memaksa siswa dan tenaga pendidik membeli kuota internet. Hal ini menjadi problem tersendiri, mengingat kemampuan ekonomi warga di daerah terpencil yang sangat rendah.

Selain itu, belum semua wilayah Indonesia yang terjangkau sinyal internet. Menurut data, baru ada 93 persen dengan kecepatan sinyalnya berbeda-beda setiap daerah. 4G mencakup 59 persen, 3G 26 persen, 2G 8 persen, dan 7 persen sisanya merupakan GSM. Di papua baru 47 persen wilayah yang mendapat sinyal untuk mengakses internet (lokadata.id, 19/08/2020).

Pada April 2020 Data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan ada sekitar 18 persen sekolah dasar dan menengah yang tidak memiliki akses internet dan ada sekitar 7 persen yang belum terpasang listrik di sekolahnya.

Beberapa masalah tersebut menjadi kendala bagi pemerataan digitalisasi sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil.


Catatan:
Artikel ditulis oleh Heru Nurfiq, S.Pd.,SD, NIP: 197201052009031002, SDN Sumbersoko 01, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah.

Komentar