Eksistensi Mahasiswa di Era Milenial

Penulis: Catur Kristiyani

Sumpah Mahasiswa Indonesia

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah bertanah air satu tanah air tanpa penindasan

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan

Menjadi mahasiswa merupakan keinginan banyak insan di muka bumi. Tapi apa jadinya bila finansial tak bersahabat. Ada kalanya si anak ingin sekali membantu memperbaiki ekonomi keluarga tapi apa daya jika penghasilan tak mampu membeli kertas kecil syarat masuk kampus.

Impian tinggallah impian bagaikan si pungguk merindukan bulan. Ada pula seseorang yang secara finansial memadai tapi hasrat masuk perguruan tinggi tak terpenuhi hanya karena tidak lolos tes masuk. Paling menguntungkan di kalangan mahasiswa bila secara finansial memadai dan memiliki kemampuan berpikir secara cerdas. Sehingga administrasi pun tak ada masalah, tugas akademik pun digarap dengan suka cita.

Namun yang lebih mengherankan, banyak mahasiswa di era milenial tak mampu bereksistensi serta mengimplementasikan perannya sebagai mahasiswa. Tak jarang di antara mereka hanya duduk diam sambil meng-copas file makalah mahasiswa sebelah. Dalam hal ini sudah semestinya mahasiswa harus mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang tak patut dilakukan seorang mahasiswa. Bukan hanya makalah saja yang bagus, lulus dengan IPK tinggi tapi otak tak berisi ilmu bakti.

Bukan hanya orang tua saja yang mengharapkan anaknya ingin menjadi mahasiswa yang bisa berperan penting dalam membangun cita-cita luhur bangsa. Tapi masyarakat pun mengharapkan hal-hal yang sepatutnya dilakukan bagi setiap mahasiswa untuk dapat melalukan perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, dalam setiap harinya, mahasiswa dihadapkan dengan 3 hal besar, yakni: akademik, organisasi dan masyarakat.

Pertama ialah akademik. Status menjadi mahasiswa bisa disebut sebagai konsekuensi untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi. Tiap mata kuliah yang mahasiswa dapat tentunya sangat berhubungan dengan kampus ynng berisi kumpulan mahasiswa serta dosen yang berkompeten.

Kampus yang merupakan tempat menimba ilmu, juga bisa dikatakan sebagai salah satu wadah yang mencetak aset yang sangat penting bagi negara. Sehingga banyak dikenal sebagai lembaga akademik yang berperan dalam mencetak generasi penerus bangsa yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah setiap mahasiswa di negara ini bisa disebut sebagai penerus bangsa yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat? Jawabannya tidak. Karena jika setiap mahasiswa mampu berperan aktif untuk mengabdikan dirinya di masyarakat, sudah barang tentu tak akan ada kericuhan sesama mahasiswa seperti para tikus yang kehabisan makanan.

Sifat kekanak-kanakan terkadang muncul dengan sendirinya di beberapa mahasiswa. Bahkan ada juga yang takut ketika mempresentasikan hasil copy paste garapan seseorang. Nah, bagaimana mahasiswa bisa mengabdikan diri di masyarakat di era milenial ini, jika kepribadiannya tak menjamin.

Kedua, organisasi. Organisasi didefinisikan sebagai kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian perkumpulan untuk tujuan tertentu. Organisasi di kalangan mahasiswa merupakan sebuah wadah atau tempat untuk memetik ilmu yang tidak didapatkan di bangku perkuliahan. Ada juga di antara mahasiswa yang mencari banyak teman di organisasi sebab minimnya jumlah mahasiswa dalam prodi tertentu. Dengan demikian, selain digunakan sebagai perkumpulan untuk mencapai tujuan yang sama, sebuah organisasi bisa menghadirkan hal-hal positif yang tentunya belum didapatkan di bangku perkuliahan.

Namun tidak semua mahasiswa di era milenial mau bergabung dalam organisasi intra maupun ekstra kampus. Ada faktor-faktor yang menghambat seorang mahasiswa untuk bisa bergabung di dalam organisasi. Salah satunya ialah faktor umur. Faktanya, masih banyak mahasiswa yang enggan ikut organisasi kampus dengan alasan sudah berkeluarga, gengsi dan lain sebagainya. Padahal jika dicermati lebih dalam, usia tidak menjadi penghalang untuk masuk dalam organisasi kampus jika memang benar-benar ingin bereksistensi serta mau berperan sebagai mahasiswa sejati bukan hanya kuliah untuk mengunduh title belaka.

Ketiga, masyarakat. Selain berinteraksi di dunia kampus, setiap mahasiswa dalam kesehariannya juga berinteraksi dengan masyarakat. Lalu, apa jadinya bila mahasiswa tak mencerminkan jati dirinya sebagai mahasiswa ketika berinteraksi dengan masyarakat?

Masyarakat pasti akan meremehkan mahasiswa bukan hanya sebatas individu belaka. Terkadang, karena salah satu mahasiswa melakukan kesalahan di masyarakat, kampus yang tak tahu apa-apa justru namanya dicemarkan. Itulah yang menjadi masalah di negeri kita tercinta ini. Memang membetulkan orang yang salah itu sulit dan butuh perjuangan luar dalam.

Celakanya, coba lihatlah fenomena yang terjadi, dan bila dicermati lebih jauh lagi, maka kondisi mahasiswa di era milenial ini aktifitasnya hanya berkutat pada rutinitas akademik. Banyak juga yang melupakan substansinya sebagai mahasiswa. Sibuknya aktifitas akademik terkadang menjadi alasan utama sehingga banyak hal penting yang seharusnya menjadi prioritas malah terabaikan.

Jadi, sudah saatnya mahasiswa di era milenial ini disadarkan kembali akan berbagai peran sebagai mahasiswa sungguhan agar bisa bereksistensi dalam membangun cita-cita bangsa. Terlebih lagi, mengingat fungsi mahasiswa yang secara universal disampaikan oleh para pakar pendidikan yaitu, pertama sebagai agen perubahan (agent of change).

Artinya, bahwa mahasiswa mempunyai peran yang sangat penting dalam terwujudnya suatu perubahan yang positif di dalam masyarakat. Kedua sebagai generasi penerus (iron stock). Peranan mahasiswa dengan ketangguhan idealismenya akan menjadi pengganti generasi sebelumnya. Ketiga, sebagai penyampai kebenaran (agent of social control). Mahasiswa seperti ini adalah mahasiswa yang peduli pada keadaan rakyat serta peka terhadap apa yang sedang dialami oleh masyarakat. Keempat, sebagai kekuatan moral (moral force).

Kekuatan moral merupakan fondasi utama mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dituntut untuk dapat memberikan contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat. Namun realitanya, mahasiswa secara tidak sadar mulai meninggalkan idealisme dan ilmu yang seharusnya bisa diimplementasikan. Sehingga hal seperti ini menjadi tabu di era milenial.

Catatan:

Penulis merupakan seorang mahasiswa STAI Pati yang aktif di beberapa organisasi ekstra dan intra kampus. Selain koordinator riset dan diskusi LPM Terma, penulis juga seorang aktivis Nasyiatul Aisyiyah, sebuah Ormas Muhammadiyah.