Dunia pun Menolak Wahabi

Penulis: Umar Husain

Konferensi Chechnya

Penolakan aliran Wahabi tak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga menolak aliran ini. Para ulama dunia bahkan mengadakan sebuah konferensi di Chechnya beberapa tahun silam, khusus untuk membendung dan melenyapkan pengaruh aliran menyimpang yang di promosikan Arab Saudi tersebut di dunia Islam.

Situs Wikpedia memuat, Muktamar Internasional Ulama Muslim (bahasa Arab: المؤتمر العالمي لعلماء المسلمين‎) atau Muktamar Ahlussunnah Wal Jamaah, yang lebih dikenal dengan Konferensi Chechnya (bahasa Arab: مؤتمر الشيشان‎), adalah muktamar yang diselenggarakan di Grozny, ibu kota Republik Chechnya pada 25-27 Agustus 2016 bertajuk “Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah? Penjelasan dan Klasifikasi Metode Ahlussunnah Waljamaah dalam Aqidah, Fikih, dan Akhlak, serta Dampak Penyimpangan darinya di Tataran Realitas”.

Muktamar ini dihadiri oleh Imam Besar Al-Azhar Ahmad al-Tayeb, para mufti dan lebih dari dua ratus ulama dari seluruh dunia. Acara ini terselenggara berkat dukungan Presiden Republik Chechnya Ramadhan Ahmed Kadyrov dalam rangka mengenang dan memperingati Presiden Ahmad Haji Kadyrov.

Secara resmi, para peserta konferensi menerbitkan fatwa yang menegaskan bahwa aliran Wahabi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Secara tegas para ulama dunia Islam menyatakan bahwa ada kekuatan regional dan internasional yang berupaya menyulut konflik sekatrian dan madzhab dengan mengembangkan aliran sesat ini. Mereka juga menyebutkan bahwa kelompok Wahabi juga digunakan untuk melayani ambisi musuh umat Islam demi keuntungan yang sangat sempit.

Muktamar kali ini dihadiri lebih dari 200 ulama seluruh Dunia, diantaranya:

  • Syeikh al-Azhar al-Imam al-Akbar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad al-Tayyeb.
  • Mufti Mesir, Syiekh Prof. Dr. Syauqi Ibrahim ‘Allam.
  • Mantan Mufti Mesir, Syeikh Prof. Dr. Ali Jum’ah.
  • Mufti Syiria, Syeikh Ahmad Badruddin Hassoun.
  • Syeikh Prof. Dr. Taufiq Ramadhan al-Buthi, putra Syeikh al-Syahid M. Sa’id Ramadhan al-Buthi.
  • Al-Da’i ila Alloh, al-Habib Umar ibn Hafidz, Yaman.
  • Al-Da’i ila Alloh, al-Habib Ali al-Jufri, Yaman.
  • Syeikh Prof. Abu Bakr Ahmad Musliyar, Kerala-Hindia, Sekjen Jam’iyyah Ulama’ al-Hind.
  • Syeikh Prof. Dr. Ahmad al-‘Abbadi, Sekjen Robithoh Muhammadiyah lil-Ulama’, Maroko.
  • Syeikh Dr. Usamah al-Sayyid al-Azhari, Mesir.
  • Syeikh Prof. Dr. Syarif Hatim al-Auni, Saudi Arabia.
  • Syeikh Dr. Sa’id Abdullatif Foudah, Yordania.
  • Dan Ulama’-ulama’ lain dari seluruh Dunia termasuk dari Malaysia dan Indonesia.

Wahabi Mengaku Islam yang Paling ‘Nyunnah’

Muktamar Aswaja Internasional Chechnya meluruskan klaim sepihak Wahabi yang merepresentasikan paling “Ahlussunnah Wal Jamaah” dan paling ‘nyunnah’. Akibatnya mazhab Aswaja menjadi korban dan dinilai negatif lantaran paham Wahabi mengajarkan ideologi kekerasan.

Untuk meluruskan stigma dan membedakan yang mana paham Aswaja dan Wahabi, muktamar Aswaja Internasional Chechnya menegaskan bahwa Aswaja adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam akidah. Empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam fikih. Serta ahli tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak— sesuai manhaj Imam Junaeid dan para ulama yang meniti jalannya.

“Itu adalah manhaj yang menghargai seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Dan telah benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-tujuannya. Dalam menjaga jiwa dan akal. Menjaga agama dari distorsi dan permainan tangan-tangan jahil. Menjaga harta dan kehormatan manusia, serta menjaga akhlak yang mulia,” Kata Guru Besar Al Azhar Mesir Syekh Ali Jum’ah dalam sambutannya di muktamar Aswaja Internasional.

Jika pun ada mazhab di luar kategori di atas, Ali Jum’ah mengingatkan dan menegaskan, Aswaja tidak mengkafirkan siapa pun yang mengaku sebagai Muslim. Penegasan ulama Aswaja kelahiran Mesir ini juga menjadi pembeda antara paham Aswaja dengan kelompok radikal atau ekstrimis.

“Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang shalat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram),” katanya.

Penasehat Presiden Mesir dan utusan Komisi Keagamaan Parlemen Mesir Usamah al-Azhari menjelaskan terkait muktamar. “Muktamar Cechnya bermaksud memberikan pencerahan mengenai problematika yang mengitari dunia Islam. Dalam berbagai persoalan akidah dan pemikiran yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris radikal dalam mencetak manhaj-manhajnya yang menghancur-leburkan sejumlah negara.”

Menurut dia, kaum takfiri (hobi mengkafirkan) dan kaum tafjiri (hobi melaksanakan peledakan) berjalan di satu jalan yang sama. Sementara lembaga-lembaga keagamaan yang tidak memahami bahaya ini masih membukakan jalan dan memberi kesempatan bagi takfirisme tetap berkembang.

Mengenai gerakan Salafi / Wahabi, Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad al-Tayeb dalam muktamar Grozny mengingatkan bahwa konsep Aswaja yang telah berlaku berabad-abad di tengah umat Islam belakangan ini digugat oleh klaim-klaim tertentu dan hawa nafsu orang-orang yang secara fisik mengenakan jubah agama. Namun batinnya keluar dari pokok (ushul/aqidah), kaidah (fikih) dan toleransi agama.

Menurutnya, fenomena ini berdampak negatif karena terbukti merusak akidah kalangan awam umat Islam. Lebih parah lagi, seringnya dalam aktivitas dakwah Wahabi, para pengklaim itu tampil dengan label Aswaja (Sunni) dan berlagak sebagai satu-satunya juru bicara Aswaja.

Akibatnya, barisan umat Islam terpecah lantaran umat dan para pendakwah itu memahami Aswaja secara salah. Mereka itu sesungguhnya bukan Aswaja, mereka hanya mengaku bahwa dirinya Aswaja (Sunni). Akhirnya, paham radikalisme, ekstrimisme, terorisme, dan aksi tindakan maut terkesan dilakukan oleh kaum Sunni (Aswaja).

Dia melanjutkan, bahwa upaya Wahabi dalam menggoyahkan Aswaja (Sunni) sudah sukses dan berhasil  memecah belah umat Islam. Mereka berhasil membangkitkan nyali para pengintai yang selalu membidikkan anak panah kepada golongan ini (Aswaja). Mencemarkan perjalanan sejarahnya, melakukan distorsi-distorsi yang membuat golongan Aswaja seakan bertanggung-jawab atas aksi teror yang dilakukan oleh kelompok takfiri bersenjata.

Dia menerangkan, kelompok ini mencemarkan nama baik Aswaja dengan menyebut diri mereka Sunni (sebutan Arab untuk Aswaja). Mereka sengaja menyerang konsep Aswaja demi memuluskan obsesi politik bertendensi sektarianisme, serta ambisi ekspansif dengan penebar perpecahan.

Syeikh Ahmad al-Tayeb lantas menerangkan soal Aswaja. Dalam metode pendidikan Al-Azhar, Aswaja ialah sebutan untuk kalangan pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam beraqidah. Mereka meliputi para ulama mazhab fikih Hanafi, Maliki, Syafi’i dan para ulama moderat dari mazhab fikih Hanbali.

Pengertian itu begitu luas sehingga meliputi para ahli hadis dan penganut tasawwuf. Pengertian inilah yang dipahami oleh umat Islam selama berabad-abad sejak munculnya istilah ini sepeninggal Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

Masih menurut beliau, Mazhab Asy’ari bukanlah aliran baru. Namun ia merupakan mazhab yang menjelaskan dengan penuh amanah tentang akidah salaf saleh dengan manhaj/metodologi baru yang menggabungkan antara teks dan akal. Hal inilah yang tidak mampu dilakukan oleh kalangan tekstualis yang sulit untuk melakukan kajian analitik, juga kalangan Muktazilah dan kelompok-kelompok lainnya.

Demikian juga, Mazhab Asya’ri adalah satu-satunya mazhab yang tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan ahli kiblat (muslim). Bukti otentik dari sikap ini adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengarang kitab yang berjudul “Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin” dimana judulnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Islam yang dibahas di dalam kitab tersebut masih berstatus muslim.

Dia menyimpulkan bahwa inilah realitas yang telah berjalan di tengah ummat Islam selama lebih 1000 tahun. Dengan realitas inilah mereka menjalani kehidupan yang satu tapi meliputi keragaman dan perbedaan pandangan yang terpuji. Serta mencampakkan kecenderungan perpecahan dan ikhtilaf yang tercela.

Reaksi Wahabi atas Muktamar Chechnya

Dikutip dari artikel yang dimuat situs Islamindonesia.id pada tanggal 8 September 2016, Ulama dan media Saudi akhirnya bereaksi atas penyelenggaraan Muktamar ‘Siapakah AhluSunah Wal Jamaah?’ yang dihadiri lebih dari 200 ulama dunia di Chechnya (25/8) lalu. Channel teve Safa milik Arab Saudi, misalnya, menuding muktamar yang dihadiri Syekh Al Azhar Mesir itu sebagai provokasi dan hasutan yang berbahaya.

“Semua teroris di Indonesia Wahabi. Beginilah sikap kurang ajar yang terang-terangan (disampaikan ketua umum PBNU) akibat Muktamar di Chechnya. Ini merupakan hasutan untuk menutup 20 pesantren Salafi,” kata jaringan TV Safa melalui akun resminya dengan mengunggah koran Indonesia yang menyinggung ajaran para ulama kerajaan Saudi itu.

Sembari menyebut Rusia dan Iran sebagai aktor di balik muktamar itu, Ulama Saudi Muhammad Ali Saud menuding pertemuan ulama di Chechnya itu bertujuan “untuk mengeluarkan Kerajaan Saudi dari Ahlu Sunah wal Jamaah,” katanya seperti dikutip arabic.cnn.com (1/9/2016).

Ulama Saudi lain, Khalid Al Saud, menyebut pertemuan ulama Aswaja di Chechnya itu sebagai pernyataan perang terhadap manhaj Salafi. Dalam akun twitternya, Khalid mencuitkan sebagai berikut: “Dengan sangat ringkas saja: Muktamar Chechnya adalah pernyataan perang terhadap manhaj Salaf, akedah tauhid dan Sunah.”

Mencoba menengahi ragam tanggapan yang muncul, Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Kita butuh Salafi yang Sufi, dan Sufi yang Salafi. Kita lembabkan keringnya Salafi dengan spiritualitas- tasawuf dan kita keraskan kelembekan tasawuf dengan disiplin Salafi,” kata cendekiawan Muslim asal Mesir itu via akun Twitternya.

Pandangan Qardhawi pun ditolak tegas oleh ulama Salafi Wahabi Abdullah Al-Faifi dengan tanggapan, “Salafi adalah mengikuti Salaf yang saleh dalam spirit dan disiplin–meminjam perkataan Anda. Ia bukan mazhab baru yang dapat dianggap sejajar dengan tasawuf.”

Seperti diketahui, AhlusSunah Wal Jamaah (Aswaja) belakangan ini sering diklaim oleh kelompok garis keras yang menganggap dirinya paling benar sendiri. Klaim ini kemudian membingungkan publik dan berakibat pada saling lempar tuduhan yang tidak produktif di tengah-tengah umat.

Para ulama di muktamar Chechnya pun menegaskan bahwa Aswaja adalah Asyariah dan Maturidiyah dalam akidah, empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam fikih, serta ahli tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak—sesuai manhaj Imam Junaeid dan para ulama yang meniti jalannya.

“Itu adalah manhaj yang menghargai seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunah), dan telah benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-tujuannya dalam menjaga jiwa dan akal, menjaga agama dari distorsi dan permainan tangan-tangan jahil, menjaga harta dan kehormatan manusia, serta menjaga akhlak yang mulia.”

Jika pun ada mazhab di luar kategori di atas, Guru Besar Al Azhar Mesir Syekh Ali Jum’ah mengingatkan, bahwa Aswaja tidak mengkafirkan siapa pun yang mengaku sebagai Muslim. Penegasan ulama kelahiran Mesir ini juga menjadi pembeda antara Aswaja dengan kelompok radikal atau ekstrimis.

“Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang salat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram),”  kata Syekh Ali dalam sambutannya di muktamar.

Karena itu, para ulama juga menggarisbawahi bahwa Aswaja bukanlah yang mengusik keamanan dan kenyamanan masyarakat di sekitarnya.

“Gelombang pertama yang sesat dan membahayakan itu adalah Khawarij klasik hingga sampai pada Neo-Khawarij saat ini dari kalangan Salafi Takfiri dan ISIS serta semua kelompok radikal yang meniti jalan mereka yang memiliki kesamaan, yaitu distorsi, pemalsuan dan interpretasi bodoh akan ajaran agama ini.”

Di Indonesia, nahkoda ormas Aswaja – Nahdatul Ulama – KH. Aqil Sirajd tanpa tedeng aling-aling menyebut semua teoris di tanah air merupakan ‘alumnus’ Wahabi.

“Ada 20 pesantren, semuanya Wahabi. Wahabi memang bukan teroris tapi ajarannya ekstrem. Kita ini semuanya dianggap bid’ah dan musyrik karena menurut mereka Maulid Nabi itu bid’ah, Isra’ Miraj bid’ah, ziarah kubur musyrik, haul musyrik, dan semuanya masuk neraka. Kami khawatir murid mereka memahami kalau begitu boleh dibunuh dong orang ini karena kerjaannya musyrik semua,” kata Kang Said dalam pertemuannya bersama Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di Surabaya, (1/9).

PBNU: Semua Teroris di RI Wahabi

● MOU POLRI -PBNU: Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Ketum PBNU Said Aqil Siradj menandatangani MoU tentang Penanganan Konflik Sosial dan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Gedung Mahameru Mapolda Jatim, Jalan Ahmad Yani Surabaya Kamis (1/9)

● Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Aqil Siradj mendesak Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian MA PhD segera membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pasalnya, Ormas ini sudah jelas tidak mau menerima ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 karena mereka ingin mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia.

● “HTI harus kita anggap musuh bersama. Mereka anti-nation (nasionalis), anti-negara kebangsaan. Ingin mendirikan khilafah seperti zaman Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mimpinya seperti itu.

● Kembali ke pernyataan KH Said Aqil, selain HTI dia juga mengusulkan Kapolri membubarkan organisasi yang membahayakan NKRI lainnya seperti Majelis Mujahidin, dan Jamaah Takfir Wal Hijrah.

● Langkah seperti ini juga pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw saat membuka Kota Madinah. Bahkan Allah sendiri dalam salah satu surat Alqurán memerintahkan kepada Rasulullah untuk memerangi kaum munafik dan orang yang suka membuat teror (zalim) mengatasnamakan agama di Madinah supaya diperangi dan jangan dianggap sebagai saudara atau tetangga. “Kita di sini juga harus demikian, usir orang-orang yang suka menebar teror mengatasnamakan agama dari Indonesia,” jelasnya.

● Bagi NU, konsep bernegara itu jelas mengacu konsep pemikiran Hadratus Syekh KH Hasyim Asyári pendiri NU yang dicetuskan pada 1914 di mana Islam dan nasionalisme (kebangsaan) harus bersatu dan jangan dipertentangkan.

● Di sisi lain, Ketum PBNU ini juga mengingatkan kepada Kapolri supaya memantau beberapa pondok pesantren di Indonesia yang menjadi penyebar paham radikalisme yang selangkah lagi menjadi gerakan terorisme yang dapat mengancam keutuhan NKRI.

● “Ada 20 pesantren, semuanya Wahabi. Wahabi memang bukan teroris tapi ajarannya ekstrem. Kita ini semuanya dianggap bid’ah dan musyrik karena menurut mereka Maulid Nabi itu bid’ah, Isra’ Miraj bid’ah, ziarah kubur musyrik, haul musyrik, dan semuanya masuk neraka. Kami khawatir murid mereka memahami kalau begitu boleh dibunuh dong orang ini karena kerjaannya musyrik semua,” terang Kang Said.

Teroris di RI Keluaran Wahabi

● Ia juga berani memastikan bahwa pelaku teroris lokal adalah keluaran pesantren wahabi. Contohnya pelaku bom bunuh diri di Polresta Cirebon, Saifuddin, adalah alumni dari Pesantren As-Sunah di Desa Kali Tanjung, Kecamatan Graksan, Cirebon Selatan.

● Kemudian pelaku bom hotel Ritz Charton, Syarifufin, dari Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat, juga keluaran As-Sunah. Dan direktur pesantren itu bernama Salim Bajri Yusuf Ba’itsa.

● Selain itu, Ahmadd Yusuf dari Cirebon Timur, pelaku bom Gereka Bethel di Solo, juga keluaran pesantren Wahabi. Kemudian yang mati di Jalan Thamrin Jakarta itu semua alumni dari pesantren beraliran Wahabi seperti Bahrun Naim, Afifi dari Subang, Dian Ali dari Tegal, Muazzam dari Desa Kedung Wungu, Kecamatan Karang Ampel, Indramayu.

● “Abu Wardah, Santoso, Amrozi, Ali Gufron, Imam Samudra, Dul Matin dan Umar Patek yang mertuanya bernama H Shofi pemilik salah satu Pom bensin di Pemalang, Jawa Tengah juga alumni pesantren berpaham Wahabi,” jelas KH Said Agil Siradj.

Kapolri: NU Pendiri NKRI

● Kembali ke penandatangan MoU PBNU-Polri dalam penanganan konflik sosial dan ujaran kebencian (hate speech), Kapolri Jenderal Tito Karnavian dipilihnya NU sangat tepat. Sebab, NU merupakan salah satu elemen pendiri bangsa Indonesia sehingga menjaga keutuhan NKRI juga menjadi tanggung jawab besar warga nahdliyin.

● Menurut Tito, sebelum Indonesia merdeka ada empat kelompok yang turut berjasa besar dalam pendirian NKRI. Tapi hanya tiga kelompok yang bersepakat negara Indonesia yang akan didirikan haruslah bisa mengakomodir kebhinekaan, toleransi dan nasionalis.

● “Tiga elemen itu adalah kelompok nasionalis yang dimotori Soekarno-Hatta, kelompok laskar pemuda yang melahirkan TNI/Polri, dan kelompok Islam moderat yang diwakili NU. Sehingga NU adalah pendiri bangsa yang wajib menjaga keutuhan NKRI,” tegasnya.

● Pertimbangan lainnya, kata Tito, organisasi keagamaan yang memiliki anggota sekitar 93 juta itu memiliki jaringan yang sangat besar dan memiliki ideologi yang moderat (toleran) sehingga bisa disinergikan dengan Polri dan TNI yang memiliki tugas menjaga keamanan dan pertahanan Indonesia.

Catatan:

  • Informasi dalam artikel ini dikumpulkan dari berbagai sumber